Senin, 21 Mei 2012

Pelanggaran HAM


Penerapan Hukuman Mati adalah Pelanggaran HAM dan Konstitusi
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan kembali diterapkannya hukuman mati. Pada hari Minggu dini hari, 20 Maret 2005, Astini menjalani eksekusi hukuman mati di Jawa Timur. Dia menjadi   orang keempat yang dieksekusi mati dalam kurun 1 tahun terakhir, tiga lainnya dieksekusi di Sumatra Utara untuk kasus narkoba. Sementara di kedepannya masih ada 53 orang terpidana mati –sebagian besar untuk kasus pidana narkoba dan terorisme- yang belum dieksekusi, bila mengacu pada data dari Jaksa Agung RI.
Sebagai salah satu organisasi HAM di Indonesia, Kontras menentang keras pelaksanaan hukuman mati (death penalty/capital punishment). Ada 2 alasan dasar mengapa KontraS menolak hukuman mati.   Pertama , atas dasar prinsip hukum HAM   yang mengutamakan nilai kemanusian di atas hukum positif apa pun. Kedua , atas dasar realitas politik hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup.
Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian   HAM internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:
1. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi   dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM   dan beberapa waktu lalu Presiden SBY telah berkomitmen akan menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.
2. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998.
3. Penerapan   hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional , mencatat hingga 1 Oktober 2004 lalu, terdapat 118 negara –dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati   -baik melalui mekanisme hukum atau politik- di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional.

Atas dasar pertimbangan   politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena:
1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa   memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah. Bahkan menurut riset Amnesty Internasional, di Amerika Serikat (sejak 1973) sekalipun telah terjadi kesalahan sistem judisial terhadap 116 orang terpidana mati.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal   menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya.   Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan   dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.    
4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui   sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan Astini kemarin ini.
Berdasarkan uraian diatas tersebut KontraS mendesak:
  1. Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden.
  2. Secara strategis   jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan   hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia, mulai dari KUHP hingga UU yang relevan.
  3. Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut   kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II).
  4. Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.  
 
Jakarta, 23 Maret 2005
Badan Pekerja KontraS
Edwin Partogi
Kepala Bidang Operasional

Penyertaan


PENYERTAAN DALAM GABUNGAN TINDAK PIDANA
Sistem Pembebanan Tanggung Jawab Pada Penyertaan
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta / terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun pisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dan mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap peserta yang lain.
Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu istilah terwujudnya tindak pidana.
Sebagaimana dalam percobaan yang mengenal dua ajaran subyektif dan obyektif, demikian juga dalam penyertaan ada 2 ajaran, subyektif dan obyektif , menurut ajaran subyektif yang bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah apabila ia berkhendak, mempunyai tujuan dan kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana. Siapa yang berkehendak yang paling kuat dan atau mempunyai kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membeban tanggung jawab pidana yang lebih besar.
Sebaliknya menurut ajaran obyektif, yang menitik beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksdukan, yang menentukan sebarapa berat tanggung jawab yang dibebannya terhadap terjadinya tindak pidana.
Apakah syaratnya seseorang dapat disebut sebagai ikut terlibat dan ikut bertanggung jawab dengan peserta lainnya di dalam mewujudkan tindak pidana :
1. Dari Sudut Subyektif , ada 2 syaratnya, ialah:
a. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;
b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya, dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta lainnya.
2. Dari Sudut Obyektif
Bahwa perbuatan orang itu ada hubungan debgan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara obyektif ada perannya / pengaruh positif bauk besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana. Menyangkut tentang sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan.
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 2 sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana, ialah:
1. pertama, yang menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggung jawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun yang ada dalam sikap batinnya.
2. kedua, yang mmerupakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama terlibat kedalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat-ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.
Tetapi juga menurut KUHP bagi orang yang terlibat sebagai pembuat pembantu, baik pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan maupun pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan (56) beban tanggung jawabnya dibedakan dengan orang-orang yang masuk kelompok pertama (mededader) pada pasal 55, yakni beban tanggung jawab pelaku pembantu ini lebih ringan pada daripada tanggung jawab pelaku mededader tersebut, dimana menurut pasal 57 atay (1) ditetapkan bahwa “ dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”.
B. Bentuk-bentuk Penyertaan
Bnetuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. . pasal 55 mengenai golongan yang disebut dengan mededader (disebut pada peserta, atau para pembuat), dan pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
b. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

1. Mereka yang Melakukan (pembuat pelaksana: pleger)
Pada kenyataannya untuk menentukan seorang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sukar. Kreteriannya cukup jelas; ialah secara umum ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materiil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulakan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil, pembuat pelaksanaannya ialah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2. Mereka yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh: Doen Pleger)
Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh lakukan (Doen Pleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “yang menyuruh melakukan ialah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada keerasan.
Dalam keterangan MvT tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran obyektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang teryata subyektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (orang yang disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggung jawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif, sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat obyektif.
3. Mereka yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta: Medepleger)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Keterangan ini belum memberikan penjelasan yang tuntas. Oleh karena itu menimbulkan perbedaan pandangan.
Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) itu ialah bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Seperti dua orang A dan B mencuri sebuah televisi disebuah kediaman, dimana mereka berdua sama-sama masuk melalui jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula mengangkat obyek televisi tersebut ke dalam mobil yang telah disediakan dipinggir jalan.
Pada contoh ini perbutan A dan Perbuatan B sama-sama (bersama) mengangkat televisi, pencurian terjadi karena perbuatan yang sama, dan tidak dapat mengangkat televisi oleh hanya satu orang. Jelas perbuatan mereka telah sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana. Sama seperti perbuatan seorang pembuat (dader). Bedanya, ialah seorang dader dia sebagai pembuat tunggal.
Sedangkan pandangan luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan, kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksana.
4. Orang yang Sengaja Menganjurkan (pembuat Penganjur: uitlokker)
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intellectualis), seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materiil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat, ialah “yang menyuruh melakukan” (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan inidirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur obyektif yang sekaligus unsur subyektif. Rumusan itu selengkapnya ialah;”mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.
5. Pembantuan
Mengenai hal pambantuan diatur dalam tiga pasal, ialah pasal 56, 57 dan 60. pasal 56 merumuskan tentang unsur obyektif dan unsur subyektif pembantuan serta macamnya bentuk pembantuan. Sedangkan pasal 57 merumuskan tentang batas luasnya pertanggungan jawab bagi pembuat. Pasal 60 mengenai penegasan pertanggungan jawab pembantuan itu hanyalah pada pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggalaran.
C. Penyertaan Mutlak
Penyertaan mutlak itu benar-benar suatu tindak pidana, tindak pidana yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang pembuat. Dapat dipikirkan oleh orang yang normal, bahwa untuk mewujudkan tindak pidana itu diperlukan lebih dari satu orang pembuat. Jadi menurut praktik hukum jelas bahwa dua orang atau lebih dengan bersekutu itu, salah satunya atau keduanya haruslah memenuhi syarat sebagai seorang pembuat peserta. Jika salah satu saja berkualitas sebagai pembuat peserta tentulah yang satu adalah sebagai pembuat pelaksana. Sedangkan bila kedua-duanya berkualitas sebagai pembuat peserta yang sama, maka kedua-dua orang itu haruslah perbuatannya sama-sama memenuhi semua unsur tindak pidana. Artinya kedua-duanya telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua syarat dari pencurian itu, karena itu dapat juga disebut kedua-duanya adalah pembuat pelaksana, karena kedua-duanya telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang benar-benar sama.

Recidive


PENGULANGAN TINDAK PIDANA
(RECIDIVE)
A. PENGERTIAN RECIDIVE
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi da­lam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang tetap (in krachtvan gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Jadi dalam Recidive, sama halnya dengan Concursus Realis, seseorang melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada recidive sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukän terdahulu atau sebelumnya. Recidive merupakan alasan untuk memperkuat pemidana­an.
Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive, yaitu sistem :
1. Recidive umum.
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pida­na. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana yang di­lakukan maupun tenggang waktu pengulangannya. Dengan tidak ditentukan tenggang waktu pengulangan­nya, maka dalam sistem ini tidak ada daluwarsa recidive.
2. Recidive khusus.
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulang­an merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
B. RECIDIVE MENURUT KUHP
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak dia­tur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan didalam Buku II ma­upun yang berupa pelanggaran didalam Buku III.
Disamping itu KUHP juga mensyaratkan tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Dengan demikian KUHP menganut sistem Recidive Khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tin­dak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
1. Recidive kejahatan.                                                                                                
Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”.
Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara :
a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”, dan
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok jenis”.
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”
Persyaratan recidive sebagai berikut :
1). Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis de­ngan kejahatan yang terdahulu;
2). Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan Hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan tetap;
3). Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk pasal 216, pasal 303 bis dan pasal 393 syarat ini tidak ada);
4). Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu ter­tentu yang disebut dalam pasal-pasal ybs., yaitu :
a). 2 tahun sejak adanya keputusan Hakim yang tetap
b). 5 tahun sejak adanya keputusan Hakim yang tetap.
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu “kelompok jenis”.
Adapun persyaratan recidive tersebut adalah sebagai berikut :
1). Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang perta­ma atau yang terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
a). kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486 yang pada umumnya mengenai kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan.
b). Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487 pa­da umumnya mengenai kejahatan terhadap orang.
c). Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488 pa­da umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/per­cetakan.
Dengan meninjau pasal-pasal yang disebutkan diatas ternyata bahwa dalam sistem KUHP tidak semua keja­hatan berat dapat dijadikan sebagai alasan recidive/pe­ngulangan (alasan pemberatan pidana).
2). Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan tetap.
Dengan adanya syarat kedua ini, maka tidaklah dapat dikatakan recidive dalam hal putusan Hakim tidak berupa pemidanaan atau belum mem­punyai kekuatan hukum tetap atau yang berupa penetapan-penetapan (beschikking).
3). Pidana yang pernah dijatuhkan Hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.
Dengan adanya syarat ketiga ini maka ti­dak ada alasan recidive untuk pemberatan pidana apabila pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu berupa pidana kurungan atau pidana denda.
4). Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah :
a). belum lewat 5 tahun
- Sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu, atau
- Sejak pidana tersebut (penjara) sama sekali telah dihapuskan, atau
b). Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewe­nangan menjalankan pidana (penjara) yang terdahulu.
Dari contoh diatas dapatlah disimpulkan bahwa tenggang waktu recidive dapat lebih dari 5 tahun.
2. Recidive Pelanggaran.
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III.
Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya merisyaratkan sebagai berikut :
a. pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu. Jadi baru dapat dikatakan ada recidive pelanggaran apabila yang ber­sangkutan melanggar pasal yang sama.
b. harus sudah ada putusan Hakim berupa peinidanaan yang telah berkekuatan tetap untuk pelangganan yang yang terdahulu;
c . tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan peinidanaan yang berkeku­atan tetap.
Berdasar syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sudah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
C. RECIDIVE DILUAR KUHP
1. Recidive kejahatan diluar KUHP terdapat didalam pasal 39 Undang-undang Narkotika (UU No.9 Tahun 1976).
Dari rumusan diatas terlihat, bahwa UU Narkotika me­nganut juga sistem recidive khusus yaitu, baik tindak pidana yang diulangi maupun tenggang waktu pengulangannya sudah tertentu.
Adapun sistem pemberatan pidananya, ialah:
- Untuk pidana penjara : ditambah sepertiga dari ancaman maximum.
- Untuk pidana denda : dilipatkan dua kali.

2. Recidive pelanggaran diluar KUHP.
Dalam peraturan-peraturan tersebut juga dianut sistem recidive khusus.
Tenggang waktu pengulangannya ada yang 1 tahun dan ada yang 2 tahun; sedangkan pemberatan pidananya ada yang ditambah separuh, sepertiga dan ada yang dilipat­gandakan (dikalikan dua).
D. RECIDIVE DALAM KONSEP KUHP BARU.