Senin, 21 Mei 2012

Asas Hukum Internasional


Asas droit de suite
Berdasarkan hak suatu kebendaan, seseorang yang berhak terhadap benda itu, mempunyai kekuasaan/wewenang untuk mempertahankan atau menggugat bendanya dari tangan siapapun juga atau dimanapun benda itu berada.
Abus de droit is a Latin term meaning, “abuse of right". Under abus de droit, a person may be liable for harm caused by doing something which s/he does not have a right to do. The following are the rights that are prohibited to use in an abusive manner:
1.A right that is principally intended to cause harm;
2.A right that is used without a legitimate interest in justifying judicial protection;
3.A right used in bad faith;
4.A right that is contrary to basic
ABUS droit de arti istilah Latin, "penyalahgunaan hak" droit de ABUS bawah, seseorang mungkin bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan dengan melakukan sesuatu yang s / ia tidak memiliki hak untuk melakukan.. Berikut ini adalah hak yang dilarang untuk digunakan dalam cara yang kasar:

1.a hak yang terutama dimaksudkan untuk menyebabkan kejahatan;

2.A hak yang digunakan tanpa kepentingan yang sah dalam membenarkan perlindungan hukum;

3.a yang tepat digunakan dalam itikad buruk;

4.A hak yang bertentangan dengan dasar



itikad baik menurut hukum
A. ITIKAD BAIK.
a. Pengertian
Itikad Baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Selanjutnya akan disebut KUHP), Untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya akan disebut KUHPer). Mengenai itikad baik dalam KUHPer Pasal 1338 ayat 3dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUHPer dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”.
Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa[1]: "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa dipengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary.
Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”[2].
Dalam Black’s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense.”[3]. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut[4]: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai berikut[5]:
Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.


Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa[6]: " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".
Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa[7]: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.
Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut.
[1] Faiz, Muhammad. Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan. www.panmuhamadfaiz.co. 12 September 2006
[2] Khoirul. Hukum Kontrak. Slide 1. Ppt. Http//: Sunan-ampel.ac.id
[3] Ibid.
[4] Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Hal.112
[5] Nur, Muliadi. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). www.pojokhukum.com
[6] Faiz, Muhammad. Kemungkinan diajukan Perkara… Op.cit.
[7] Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pasca Sarjana FH-UI. 2003. Hal. 190


PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL
Hukum internasional memiliki istilah yang bermacam-macam karena pendekatannya berbeda satu dengan yang lain, istilah yang lazim dipakai adalah International Law. Hukum internasional adalah sekumpulan aturan hukum baik yang tertulis ataupun yang tidak yang dipertahankan oleh masyarakat internasional[1].
Menurut Soesilo Prajogo dalam Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, yang dimaksud dengan Hukum Internasional adalah “seperangkat prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang mengatur kewajiban negara, organisasi Internasional dan manusia di dalam hubungan dunia”[2].
Secara garis besar Hukum Internasional terdiri dari:

a. Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berlainan (hubungan antar bangsa).
b. Hukum Publik Internasonal adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara hubungan internasional yang bukan bersifat perdata (hubungan antar Negara).
Hukum publik Internasional berbeda dengan Hukum Perdata Internasional, perbedaan tersebut terletak pada objek pengaturan dan yurisdiksi berlakunya hukum atas perbuatan, orang dan benda atau sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional).
SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL[3]
Subyek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah:
a. Negara
Negara merupakan konsep hukum teknis yang didalamnya merupakan suatu organisasi kekuasaan yang bisa menyelenggarakan hubungan internasional dalam mencapai tujuan bersama. Disamping itu, negara adalah suatu entitas yang bisa dituntut atau menuntut dalam hubungan tersebut karena negara memiliki alat hubungan dalam negeri maupun alat hubungan luar negeri. Menurut Konvensi Montevideo 1949, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
1. penduduk yang tetap                                                                                         3. wilayah tertentu
2. kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain         4. Pemerintahan
b. Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe :
1. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
2.  Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization.
3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
c.  Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) berkedudukan di Jenewa, Swiss. Palang Merah Internasional hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional, namun karena keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis, maka Palang Merah Interasional dianggap menjadi Subyek Hukum Internasional.
d. Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Tugas dan kewenangan Tahta Suci Vatikan tidak seluas Negara, namun sebatas bidang kerohanian dan kemanusiaan.  Sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja.
e.  Kaum Pemberontak (belligerent)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh dunia Internasional adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri.
f.  Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggung jawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai Negara. Hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:
a. dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional.
b. metode penciptaan hukum internasional.
c.  tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit.
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, yaitu[4]:
1.  Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus.
2.   Kebiasaan internasional (international custom) yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum.
3.  Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
4.  Keputusan pengadilan (judicial decision)
5.  Ajaran para ahli hukum internasional yang telah diakui kepakarannya, sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum.
ASAS-ASAS HUKUM INTERNASIONAL
Pada hakekatnya asas yang dipakai dalam hukum Internasional adalah asas yang saling menjaga ketertiban, keamanan dan ketentraman dunia Internasional. Tidak diperbolehkan salah satu negara membuat keresahan dunia, bahkan mengancam keamanannya. Akan tetapi setiap negara diharuskan untuk menciptakan situasi yang kondusif, melalui beberapa kebijakannya tersebut. Asas-asas hukum Internasional diantaranya adalah:
1. Pacta sunt servada                                                              5.   Asas Timbal Balik
2. Asas Kedaulatan Negara                                                   6.   Asas Iktikad Baik
3. Asas penyalahan Hak                                                        7.   Asas non intervensi
4. Asas penghormatan kemerdekaan


B. Prinsip Non-Intervensi
Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional. berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan negara berkaitan dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Negara nasional (nation-state) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat; bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain.
Prinsip non-intervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Prinsip ini tidak jarang telah dilanggar dalam praktek-praktek negara. Dalam kasus Corfu Channel , ICJ meneguhkan
prinsip non-intervensi dengan mengatakan, “ Between independent states, respect for territorial sovereignty is an essential foundation of international relations. ”
Piagam PBB mencantumkan prinsip non-intervensi dalam pasal 2 (7). Pasal tersebut menyatakan bahwa pelarangan terhadap PBB untuk intervensi sesuatu yang berada dalam yurisdiksi domestik suatu negara. Redaksi dalam pasal tersebut merupakan sebuah revisi dari Pasal 15 (8) Konvenan Liga Bangsa-Bangsa. Bunyi pasal tersebut adalah;
“If disputes between the parties is claimed by one of them, and is found by the council, to arise out of a matter which by international law is solely within domestic jurisdiction of that party, the council shall so report, and shall make no recommendations as to its settlement.”
Jika diperbandingkan antara kedua pasal tersebut, maka penggunaan istilah yurisdiksi domestik tetap dipertahankan. Pengertian yurisdiksi domestik pun kemudian menjadi bahan perdebatan dalam Konfrensi San Fransisco. Sebagian pihak menilai (Australia), bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 (7) sangat jauh dari keinginan para peserta konfrensi. Komentar tersebut dikemukakan karena dengan ketentuan tersebut telah membatasi kewenangan PBB sebagai penjaga keamanan dan perdamaian. Namun, pada akhirnya konfrensi tetap memberikan peluang terbatas, dengan menambahkan redaksi terakhir dalam pasal 2 (7), bahwa prinsip non-intervensi PBB atas yurisdiksi domestik tidak meniadakan penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII.
D’Amato juga mengkritisi pengertian yurisdiksi domestik tersebut, menurut ia bahwa yurisdiksi domestik sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan hukum internasional. Ia mencontohkan, bahwa apabila sebuah negara melakukan kekejaman (genosida, pelanggaran hak asasi manusia) terhadap penduduknya dalam yurisdiksi domestiknya, apakah dengan demikian hukum internasional tidak memiliki yurisdiksi atas peristiwa itu?.
Dengan adanya Konvensi tentang Genosida, maka kemutlakan yurisdiksi domestik telah “tergerogoti”. Kejahatan genosida telah dianggap sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia yang bersifat ekstratetorial. Jadi, telah menjadi kewajiban setiap negara untuk melakukan tindakan atas nama kemanusiaan.
Relasi antara prinsip non-intervensi dan yurisdiksi domestik dalam Pasal 2 (7) sebenarnya dapat didamaikan dengan tidak melakukan pengabaian terhadap kewenangan PBB untuk penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII. Namun, dalam prakteknya, kekuatan dewan keamanan yang diatur dalam Bab VII cenderung kurang efektif karena adanya hak veto dari anggota tetap untuk membatalkan sebuah resolusi. Untuk mengurangi kebuntuan tersebut maka pada tanggal 3 November 1950 dikeluarkan sebuah resolusi majelis umum no 377 (V) tentang, “Uniting For Peace Resolution”. Resolusi tersebut dibuat untuk menghindari kebuntuan yang terjadi dalam dewan keamanan tentang penggunaan hak veto.
Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan derajat dan bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Terdapat beberapa kata penting dalam bunyi pasal tersebut, yaitu ancaman atau penggunaan kekuatan (threat or use of force), kesatuan wilayah (teritorial intergrity), kebebasan politik (political independence), dan tidak selaras dengan tujuan PBB.
Redaksi kata yang kemudian menjadi multitafsir tersebut adalah apakah kriteria yang disebutkan dalam ketentuan pasal tersebut merupakan pembatasan atas non-intervensi? Apakah jika terjadi sebuah tindakan dari sebuah negara namun tidak memenuhi kriteria di atas, dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan sebuah intervensi? Untuk itu maka akan dilihat dalam praktek-praktek negara dan juga keputusan pengadilan mengenai ketentuan pasal tersebut.
Perumusan redaksi tersebut harus dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu Pasal 10 Konvenan Liga Bangsa-Bangsa yang berbunyi:
“To respect and preserve as against external aggression the territorial integrity and existing political independence of all members of the league.”
Jika dibandingkan dengan bunyi konvenan di atas, maka terlihat ada beberapa penambahan dan pengurangan redaksional. Dalam bunyi pasal 2 (4), istilah agresi dihapuskan karena dalam konfrensi San Fransisco tidak didapati kesepahaman mengenai definisi agresi itu sendiri. Bunyi pasal tersebut berubah menjadi, “against territorial integrity or political independence of any state”. Usulan penggantian kalimat tersebut merupakan respon terhadap suara-suara dari negara lemah untuk menjamin mereka terhadap penggunaan kekerasan bersenjata yang biasa dilakukan oleh negara adikuasa. Tafsiran penggunaan kekuasaan (use of force) dalam konfrensi adalah penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata (armed force).
Sedangkan penggunaan paksaan ekonomi atau psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam pasal 39.
Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam pasal 2 (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang menurut hukum internasional adalah ketika ada keinginan negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktivitis militer. Menurut beliau setiap negara bisa menggunakan kekesarasan bersenjata (use of force) untuk menyelematkan aset nasionalnya dalam kerangka pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun hal tersebut dapat dilakukan jika negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebee.
Konsep penggunaan kekerasan bersenjata dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum internasional. Namun, penggunaan tindakan tersebut harus dikaitkan dengan prinsip pembelaan diri (self defence) yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi :
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of theSecurity Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersurat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux preparatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Pengaturan hak tersebut memiliki presedenya apabila dikaitkan dengan Kellog-Briand Pact 1928. Dalam perjanjian tersebut hak pembelaan tidak disebutkan secara tersurat, namun menurut Tuan Kellog, sekretaris negara Amerika Serikat, menyatakan bahwa hak membela diri merupakan sesuatu yang “inherent” atau melekat, sehingga penyebutannya dalam sebuah kata tidak lagi diperlukan.
Hak membela diri yang diatur dalam pasal tersebut dapat dilakukan oleh negara dengan beberapa pembatasan. Pertama, hak tersebut dapat dilaksanakan jika telah terjadi sebuah serangan bersenjata (armed attack). Pemilihan kata “armed attack” dan tidak “forces” seperti tersurat dalam pasal 2 (4) merupakan sebuah kemajuan. Dengan menggunakan kata “armed attack” maka pengertiannya menjadi jelas dan tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. Kedua, setelah dewan keamanan mengambil tindakan yang perlu untuk memelihata perdamaian dan keamanan internasional. Persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan melaksanakan hak pembelaan dirinya.
Pelaksanaan hak membela diri apabila dikaitkan dengan pasal 2(4), maka akan terlihat bahwa negara dalam melaksanakan hak-nya tidak boleh menggunakan ancaman atau kekuatan yang mengganggu kesatuan wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Tindakan yang diambil pun tidak boleh bertentangan dengan tujuan PBB itu sendiri yakni, mencapai perdamain dan keamanan dunia. Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangkan hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik.
Hak membela diri menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) merupakan sebuah adopsi dari Kasus Kapal Caroline. Dalam kasus tersebut terkenal sebuah pernyataan yang dikatakan oleh Daniel Webster, seorang dari sekretariat Amerika Serikat. Beliau menyatakan keperluan sebuah pembelaan diri harus memenuhi kriteria; instant (cepat), overwhelming situation (mendukung), leaving no choices of means (tidak ada cara lain), no moment for deliberation (tidak ada waktu untuk menimbang). Syarat-syarat tersebut yang harus dapat dipenuhi oleh sebuah atau sekelompok negara apabila ingin menegakkan hak-nya untuk melakukan pembelaan diri dengan cara menggunakan kekerasan bersenjata.
Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindingi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa pasal 51 diartikan untuk melindungi hak untuk membela diri bukan untuk membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Pendapat Bowett inilah kemudian yang memunculkan doktrin anticipatory self-defence atau yang sering dipraktekan oleh Amerika sebagai serangan pencegahan (pre-emptive strike) yang dilakukan terhadap Afganistan dan Irak.
Ada dua pandangan mengenai hak membela diri. Pertama, adalah Teori kumulatif, teori tersebut menyebutkan bahwa serangan yang dilakukan oleh gerilyawan di sekitar perbatasan dilihat sebagai sebuah keseluruhan. Jadi, tindakan penyerangan terhadap gerilyawan tersebut dapat dilakukan sebagai sebuah antisipasi terhadap kemungkinan serangan berikutnya yang akan dilakukan oleh gerilyawan tersebut. Serangan pencegahan dapat dijustifikasi dalam kerangka hak membela diri antisipatif. Tindakan tersebut harus didasarkan atas serangan yang terus-menerus serta keyakinan bahwa serangan tertentu akan tetap terus berlangsung. Tindakan inilah yang sering dijalankan oleh Israel terhadap Palestina dan Libanon. Kedua, hak membela diri dilakukan apabila telah terjadi sebuah serangan bersenjata, pendapat ini sepaham dengan bunyi pasal 51. Henkin menyatakan bahwa dalam draft penyusunan pasal 51 tidak ditemukan bahwa penafsiran atas hak membela diri dapat dilakukan secara meluas. Bunyi pasal secara eksplisit menyatakan bahwa hak membela diri timbul ketika terjadi serangan bersenjata. Pasal tersebut tidak boleh diartikan bahwa negara dapat melakukan sebuah serangan lebih dahulu atas asumsi melakukan pembelaan diri.
Konsep membela diri dalam ketentuan pasal 51 piagam PBB, dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa setiap tindakan bela diri yang dilakukan oleh negara (individu maupun kolektif) harus dilaporkan kepada dewan keamanan sebagai organ PBB yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang melakukan tindakan bela diri tersebut dalam prakteknya sulit untuk dilakukan, karena yang biasa terjadi adalah setelah serangan pembelaan diri itu dilakukan, baru kemudian dilaporkan oleh para pihak.

    Sumber berarti asal atau tempat keluar.[111] Jika kata sumber dihubungkan dengan hukum menjadi sumber hukum, maka artinya adalah asal-usul hukum atau tempat keluar atau terjadinya hukum.
          Henry Campbell Black dalam Black Dictionary nya merumuskan sumber hukum sebagai asal yang daripadanya  hukum positif tertentu memperoleh kewibawaan atau kekuataan memaksanya.[112] Rumusan yang menegaskan sumber hukum sebagai asal kekuatan memaksannya hukum, lebih merupakan sumber materiil. Di samping sumber materiil ada pula sumber formil hukum, yang akan diuraikan di bawah nanti.
          Menurut Wayan Parthiana, sumber hukum tidak hanya berarti darimana hukum itu berasal, tetapi juga ada kaitannya dengan terjadinya hukum dan dalam bentuk apa saja hukum itu diwujudkan.[113] Sumber hukum tersebut dapat dibedakan atas sumber materiil, formil dan filosofis.[114]
          Sumber hukum materiil adalah sumber hukum dalam arti apa yang pada hakikatnya menjadi dasar kekuatan mengikatnya hukum, dengan kata lain, mengapa hukum itu mengikat. Dalam hukum internasional terdapat beberapa teori mengenai hakikat mengikatnya hukum tersebut. Teori-teori ini meliputi: teori hukum alam, teori kehendak negara, teori kehendak bersama negara, teori kaidah hukum dan teori kenyataan sosial. Teori-teori ini sudah dibahas dalam bab II.
          Sumber hukum formal, adalah sumber hukum dalam arti di manakah kita dapat  menemukan ketentuan hukum itu? Mengenai hal ini akan dibahas pada bagian B berikutnya.
          Sumber hukum dalam arti filosofis, adalah sumber hukum yang meneliti faktor-fakor penyebab yang turut membantu di dalam pembentukan suatu kaidah. Persoalan ini lebih terletak di luar hukum. Oleh karena itu, sumber filosofis ini tidak akan dibahas lebih lanjut.

B. Sumber formal hukum internasional

          Dari sudut sejarah, hukum internasional bisa dijumapai dalam dokumen-dokumen berikut:[115]    
1. Kebiasaan internasional; 
2. Perjanjian-perjanjian internasional;
3. Keputusan pengadilan dan badan arbitrai;
4. Pandangan para ahli;
5. Keputusan dari badan internasional yang ada.

          Sumber hukum tersebut agak berbeda dengan sumber hukum yang disebutkan di dalam pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Di dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut dinyatakan bahwa dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional harus memberlakukan: perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.
          Sumber hukum yang disebut pada angka 1 sampai dengan 3 merupakan sumber utama, sedangkan yang disebut pada angka 4 merupakan sumber tambahan. Urutan nomor penyebutan sumber tersebut tidak menunjukkan tingkat pentingnya atau pengutamaan dari sumber hukum tersebut. Pengutamaan hanya terjadi berkaitan dengan kedudukan sebagai sumber utama dan sumber pelengkap.
          Seperti disebutkan di atas, bahwa sumber hukum berdasarkan pasal 38 (1) Statuta agak berbeda dengan sumber hukum berdasarkan sejarah. Pada yang disebut pertama, tidak terdapat keputusan badan arbitrasi dan badan (organ) internasional, sebaliknya di dalam yang kedua tidak ada ketentuan mengenai asas-asas hukum umum seperti disebutkan dalam pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional.
          Selanjutnya, uraian mengenai sumber formal hukum internasional itu didasarkan pada ketentuan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tersebut.

1  Perjanjian internasional
          Menurut Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat kontrak di antara negara-negara atau organisasi negara-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum di antara para pihak.[116] Rumusan yang agak berbeda dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu: perjanjian yang diadakan antara masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.[117] Jadi, perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan oleh negara dengan negara atau negara dengan organisasi internasional dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum terentu.
          Perjanjian internasional dapat diadakan dalam bentuk tertulis, lisan ataupun dengan persetujuan  diam-diam,[118]  bahkan  dapat  dengan  bentuk-bentuk komunikasi lain seperti tanda atau isyarat.[119]
          Perjanjian internasional jangan dikacaukan dengan berbagai dokumen yang berkaitan dengan perjanjian internasional tetapi bukan merupakan perjanjian internasional itu sendiri. Dokumen-dokumen itu adalah:[120]

a) Memoire (Memorandum), adalah suatu nota diplomatik yang berisi ringkasan suatu kenyataan dasar tentang suatu urusan.
b) Proposal, adalah suatu dokumen yang membedakan suatu penawaran yang   diajukan suatu negara kepada negara lain.
c)  Note  verbal, adalah suatu dokumen yang tidak ditandangani yang isinya ringkasan pembicaraan (tanya jawab) atau pristiwa seperti itu.
d) Proses  verbal, adalah laporan pejabat atau rincian laporan rapat kerja sehari-hari mengenai suatu konferensi dan simpulan sementara yang dicapai, dan selalu ditandatangani oleh wakil-wakil peserta.
          Dari sudut proses atau tahap pembuatannya, perjanjian internasional dapat dibedakan atas perjanjian yang terdiri atas dua tahap dan perjanjian yang terdiri atas tiga tahap. Perjanjian yang terdiri atas dua tahap, adalah perjanjian yang hanya melalui perundingan dan penandanganan, sedangkan yang terdiri atas tiga tahap adalah perjanjian yang melalui tahap perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Perjanjian internasional tiga tahap merupakan perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga memerlukan persetujuan rakyat. Perjanjian jenis ini,  lazim disebut traktat (treaty). Sedangkan perjanjian yang hanya terdiri atas dua tahap adalah perjanjian yang sederhana dan untuk hal-hal yang tidak begitu penting. Persetujuan jenis ini disebut persetujuan (agreement).
          Dilihat dari segi bentuknya, perjanjian internasional dapat digolongan sebagai berikut:[121]
a. Perjanjian antar Kepala Negara (Head of State Form). Para pihak dalam perjanjian ini disebut Negara Peserta Agung (High Contracting States). Bentuk ini hampir tidak ada lagi yang mempergunakannya. Sekarang, hanya dipakai untuk Konvensi- konvensi khusus, misalnya konvensi konsuler, dan jenis traktat yang lebih bersifat rahasia. Dalam praktik Kepala Negara dapat mewakilkan atau menguasakan Menteri Luar Negeri/Duta Besarnya mengadakan perjanjian jenis ini.
b. Bentuk antar pemerintah (Inter-Governmental Form) yang dirancang sebagai suatu persetujuan di antara negara-negara yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ini biasanya digunakan untuk persetujuan-persetujuan yang bersifat teknis dan non politik, kecuali Traktat Aliansi Anglo-Jepang antara Pemerintah Inggris dan Jepang pada tahun 1902. 
c. Bentuk Antar Negara, yang secara tegas dan tersirat dirancang sebagai persetujuan di antara negara-negara peserta. Para penandatangan seringkali disebut sebagai para pihak (the parties). Misalnya, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, 4 April 1949.
d. Traktat dapat dirundingkan dan ditandatangani oleh para menteri negara-negara peserta, umumnya oleh Menteri Luar Negeri.
e. Traktat yang merupakan persertujuan antar departemen yang ditandatangani oleh para wakil departemen negara-negara yang bersangkutan.
f.  Traktat antara tokoh-tokoh politik negara peserta. Misalnya, persetujuan Munich September 1938 yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris Chamberlain, Perancis M. Daladier, Jerman Hitler, dan Italia Mussolini; dan traktat antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet (sekarang telah bubar) tentang Sistem Persenjataan Anti Balistik yang ditandatangani di Moskow pada tanggal 26 Mei 1972 Oleh Presiden Nixon dan Sekjen PKUS Leonid Breznev.
          Dilihat dari segi subyek yang mengadakan perjanjian internasional, perjanjian internasional dapat dibedakan atas:
1. Perjanjian antar negara, yaitu perjanjian internasional yang diadakan oleh negara-negara sebagai besertanya.
2. Pejanjian antara negara-negara dengan subyek hukum lainnya, seperti antara negara dengan organisasi internasional atau dengan Takhta Suci (Vatikan).
3. Perjanjian antara sesama subyek hukum lain bukan negara, khususnya antara organisasi internasional satu dengan lainnya. Misalnya, perjanjian antara ASEAN  dengan MEE.
          Ditinjau dari segi jumlah pesertanya, perjanjian internasional dibedakan atas:
1. Perjanjian dwipihak (bilateral), yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua pihak saja. Pada umumnya perjanjian jenis ini hanya mengatur soal-soal khusus mengenai kepentingan pihak-pihak dalam perjanjian itu. Contohnya: perjanjian Indonesia ~ RRT (sekarang RRC) 1954 mengenai dwi kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, dan perjanjian perdagangan. Karena itu, perjanjian ini bersifat tertutup, artinya hanya mengikat mereka yang mengadakan perjanjian itu saja, dan pihak lain tidak dapat mengikatkan diri ke dalamnya.
2. Perjanjian neka pihak atau jamak pihak (multilateral), yaitu perjanjian yang diadakan banyak pihak (negara). Perjanjian ini umumnya bersifat terbuka dan mengatur hal-hal yang bersifat umum, dalam arti tidak hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan negara-negara peserta tetapi juga menyangkut kepentingan negara-negara lain yang bukan peserta perjanjian itu. Karena sifatnya terbuka, maka negara lain dapat menyatakan diri terikat, dengan cara aksesi (menyatakan terikat terikat untuk seluruhnya) atau adhesi (menyatakan diri terikat dengan pembatasan-pembatasan tertentu).
          Dari segi fungsinya sebagai sumber hukum perjanjian internasional dapat dibedakan atas treaty contract dan law making treaties. Treay contract, adalah perjanjian sebagaimana halnya kontrak hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pesertanya, seperti: perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan. Law making treaties, atau traite lois, adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi mayarakat internasional secara keseluruhan, seperti Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dan Konvensi Hukum Laut III 1982.
          Mochtar Kusumaatmadja, tidak menyetujui pembedaan atas treaty contract dan law making treaties. Ketidaksetujuannya didasarkan atas alasan sebagai berikut:[122]
1. Secara yurisdis, setiap perjanjian baik yang disebut treaty contract maupun law maiking treaties adalah kontrak, yaitu persetujuan atau perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi para pesertanya;
2. Dari segi fungsinya sebagai sumber hukum, baik law making treaties maupun  treaty contract adalah law making, artinya menimbulkan hukum.

          Mochtar Kusumaatmadja mengakui bahwa law making treaties memang secara langsung menimbulkan kaidah-kaidah hukum bagi  masyarakat intrnasional secara keseluruhan. Namun, tak dapat disangkal bahwa treaty contract pun dapat secara tidak langsung membentuk kaidah-kaidah hukum melalui proses kebiasaan. Berkenaan dengan hal tersebut beliau lebih cendrung menggunakan istilah perjanjian khusus untuk treaty contract dan perjanjian umum untuk law making teraties.[123]

2  Kebiasaan internasional
          Baik dalam hukum nasional, lebih-lebih dalam hukum internasional kebiasaan merupakan sumber yang sangat penting. Selain itu, dalam hukum internasional banyak sekali ketentuan hukum internasional yang dikembangkan dari hukum kebiasaan. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum perang, hukum laut, dan hubungan konsuler misalnya semula berasal dari hukum kebiasaan, yang kemudian banyak dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional.[124]
          Kebiasaan internasional tersebut merupakan praktik-praktik tertentu yang mendapat pengakuan di antara negara-negara yang diakui secara umum sebagai kewajiban.[125]  Kebiasaan   (custom)   jangan   dikacaukan   dengan  kebiasaan   belaka (usage). Pakar hukum berbicara mengenai hukum kebiasaan (custom) apabila suatu kebiasaan yang merupakan tindakan nyata dan terus-menerus diyakini menurut hukum internasional melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan kebiasaan saja (usage) adalah kebiasaan yang merupakan tindakan nyata yang berulang-ulang tanpa menjadi hak dan kewajiban.[126] Contohnya, praktik pengecualian kendaraan diplomatik dari larangan parkir.
          Namun, ada kecendrungan kebiasaan belaka (usage) menjadi hukum. Dan ini adalah soal kenyataan, bukan soal praktis. Namun, semua teori menyatakan, segera setelah tingkah laku yang berulang-ulang diterima oleh negara-negara sebagai menimbulkan kewajiban atau hak, maka aturan yang disimpulkan daripadanya merupakan aturan hukum internasional.[127]
          Untuk adanya hukum kebiasaan internasional harus dipenuhi empat unsur, yaitu: jangka waktu, keseragaman atau keruntutan praktik, keumuman praktik dan opinio juris necessitatis.[128] Tiga yang pertama merupakan unsur fisik dan yang terakhir merupakan unsur psikologis.


a. jangka waktu

          Keruntutan praktik melalui masa tertentu merupakan ciri yang melekat pada konsep kebiasaan. Oleh karena itu tidaklah mungkin berbicara mengenai konsep kebiasaan tanpa menegaskan bahwa praktik serupa telah diikuti dalam keadaan yang sama sehingga kebiasaan itu menjadi cukup umum untuk patut disebut kebiasaan.[129]
          Dalam keadaan kongkrit berapa lama terbentuknya suatu kebiasaan merupakan hal yang sulit. Tidak ada ketentuan yang pasti mengenai hal ini. Ada kalanya diperlukan suatu waktu yang lama sekali,  tetapi ada juga contoh bahwa masyarakat   internasional   menerima   satu   pola  tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang tidak begitu lama. Konsep landas kontinen misalnya, baru muncul sejak tahun 1945 pada saat Presiden Truman mengeluarkan  Proklamasi mengenai Landasan Kontinen tersebut. Proklamasi ini dikuti oleh proklamasi serupa oleh negara-negara lain dan pada Konferensi Hukum Laut tahun 1958 telah diterima sebagai Konvensi Landas Kontinen.[130] Memang pada masa sekarang, kebiasaan itu bisa berlangsung sangat singkat. Ini disebabkan oleh karena hubungan internasional yang jauh lebih kerap, dan sangat meningkatnya arus lintas perbatasan serta kerjasama antar negara sekarang ini merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.[131]




b. Keseragaman, keruntutan praktik
          Menurut Brownlie keseragaman yang diperlukan di sini adalah keseragaman substansial,[132] artinya tidak boleh ada pertentangan di dalam praktik. Ini misalnya, dapat dilihat dalam perkara the Haya de la Torre antara Kolombia dengan Peru di depan Mahkamah Internasional. Dalam kasus ini, Mahkamah Internasional tidak menemukan adanya unsur hukum kebiasaan. Ini ditegaskan Mahkamah sebagai berikut:[133]

“....Mahkamah menyingkapkan begitu banyak ketidakpastian dan pertentangan, banyak kekurangan dan ketidaksesuaian dalam pelaksanaan suaka diplomatik dan dalam pendapat resmi yang ditegaskan atas berbagai perisiwa, terdapat begitu banyak ketidaksesuaian dan penggantian konvensi yang cepat yang diratifikasi oleh beberapa negara dan ditolak oleh negara yang lain, dan praktik ini dipengaruhi begitu banyak pertimbangan kebijakan politik dalam berbagai perkara, sehingga tidak mungkin untuk melihat semua ini sebagai kebiasaan yang runtut dan seragam, yang diterima sebagai hukum.

          Dalam perkara lainnya,  yaitu perkara the Fisheries Mahkamah menolak adanya aturan (kebiasaan) 10 mil untuk teluk[134] dengan pertimbangan yang sama. Dalam perkara ini, Mahkamah menyatakan sebagai berikut:

“.....bahwa walaupun aturan sepuluh mil telah diterima oleh negara-negara tertentu baik dalam hukum nasional mereka maupun dalam traktat atau konvensi mereka, dan walaupun putusan arbitrasi tertentu telah memberlakukannya di antara negara-negara, negara-negara lain menerima pembatasan yang berbeda. Akibatnya, aturan sepuluh mil tidak berlaku”.

c. Keumuman praktik
          Ini merupakan segi yang melengkapi keruntutan. Tentu saja universalitas tidak diperlukan. Yang terpenting di sini adalah tidak ada keberatan dari negara-negara. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan jalan diplomatik (protes) atau dengan jalan hukum, yaitu dengan mengajukan keberatan-keberatan tersebut kepada Mahkamah Internasional.[135]

d. Opninio juris at necessitatis
          Berdasarkan unsur ini, maka suatu kebiasaan baru menjadi hukum internasional apabila sudah diterima sebagai hukum. Menurut Brierly, pengakuan oleh negara-negara atas praktik tertentu “sebagai kewajiban”, dan  Hudson, mensyaratkan suatu “konsepsi bahwa praktik itu dibutuhkan oleh atau sesuai dengan hukum internasional yang berlaku”.[136] Dengan kata lain untuk bisa diterima sebagai hukum, kebiasaan itu dibutuhkan atau sesuai dengan hukum internasional.
          Dengan demikian, tidak semua kebiasaan bisa  diterima sebagai hukum. Kebiasaan yang tidak sesuai dengan perasaan hukum tidak akan bisa menjadi hukum kebiasaan internasional. Ini bisa dilihat misalnya dalam Perang Dunia II ada kebiasaan dari kapal selam Jerman untuk menenggelamkan kapal dagang milik lawan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal untuk menyelamatkan diri. Hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang mengharuskan kapal selam sebelum menenggelamkan kapal dagang musuh harus memberikan peeringatan dan kesempatan kepada awak kapal untuk menyelematkan diri. Oleh karena itu, maka praktik ini tidak pernah bisa diterima sebagai hukum kebiasaan internasional.[137]

3  Asas hukum umum

          Bersama-sama dengan putusan pengadilan, asas-asas hukum umum merupakan sumber pelengkap dari hukum internasional. Sebagai sumber hukum pelengkap, asas hukum umum, umumnya digunakan sebagai “pengisi kesenjangan (gap filler”) jika tidak hukum traktat atau hukum kebiasaan pada  hal tertentu.[138]
Menurut Baron Descamp (Belgia) asas hukum umum adalah “aturan hukum internasional yang diakui oleh kesadaran hukum bangsa-bangsa beradab”. Root dan Phillimore mengaitkan asas ini dengan pengertian peraturan yang diterima dalam hukum negara semua negara beradab.[139]Contoh asas-asas hukum nasional tersebut meliputi asas kepatutan (equity), estopel, pacta sunt servanda, meperkaya diri secara tidak pantas (unjust enrichment), dan penggunaan pembuktian tak langsung (the use of circumstantial evidence.)[140] William merumuskan asas umum hukum sebagai “asas-asas umum mengenai keadilan, hukum alam, analogi dengan hukum perdata, asas-asas perbandingan hukum atau konsepsi-konsepsi umum hukum internasional.[141]
          Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi sumber hukum di sini adalah asas hukum umum. Jadi, bukan hanya asas hukum internasional. Arti perkataan umum di sini sangat penting karena ini menunjukkan bahwa hukum internasional merupakan bagian dari sistem hukum yang lebih besar, yaitu hukum pada umumnya. Karenanya, maka asas-asas hukum perdata seperti pacta sunt servanda, bona fides (itikad baik), abus du droit, dan asas adimplenti non est adiplendum juga tercakup dalam pengertian ini.[142]  Demikian pula dengan asas-asas hukum pidana, seperti asas tidak menimpakan kesalahan pada orang yang tidak melakukan perbuatan pidana, asas pertanggunggungjawaban pidana, dan tidak memberikan keuntungan kepada orang yang melakukan kejahatan; dan asas hukum tatanegara atau hukum tata usaha negara, seperti asas exess du povoir juga tercakup dalam pengertian asas-asas hukum umum tersebut.    
          Wolfgang Friedman membedakan asas hukum umum tersebut atas tiga macam, yaitu:[143]
1. asas pendekatan dan penafsiran semua jenis hubungan-hubungan hukum;
2. patokan minimum kebebasan prosedur;
3. asas hukum subtantif yang  diakui cukup luas dan tegas dalam sistem hukum utama dunia yang diakui sebagai asas-asas hukum internasional.

1. Asas penafsiran
          Asas penafsiran meliputi : asas kepatutan (equity), estoppel dan asas penyalahgunaan hak (abuse of right [abus du droit).
          Asas kepatutan ini merupakan asas yang sangat peting dalam sistem hukum modern. Asas ini dalam sistem hukum common law disebut dengan berbagai istilah, yaitu “reasonable”, “fair”. Menurut Lauterpacht, Hudson, de Visscher dan Dahm, asas kepatutan merupakan bagian dan bidang peradilan modern. Asas kepatutan ini mendasari putusan Mahkamah Internasional Permanen dalam perkara Division of Waters from the River Meuse. Dalam perkara ini,  Belanda mengajukan tuntutan kepada Mahkamah atas pembagian perairan Sungai Belgia untuk tujuan pembuatan terusan yang dilakukan Belgia. Tuntutan ini ditolak karena Belanda sendiri sebelumnya telah melakukan hal yang sama.
          Asas  estoppel, mengharuskan orang yang meyakinkan orang lain mengenai keadaan sesuatu dengan perkataan atau perbuatan,  bertindak untuk mempetegas keyakinan tersebut, dan menghindari tindakan yang berbeda untuk menegaskan terhadap pihak tersebut atas keadaan  sesuatu itu. Atau dengan kata lain, orang atau negara yang mengakui memiliki suatu  harus bertindak sesuai dengan pengakuan tersebut guna menegaskan pengakuan tersebut.
          Asas larangan penyalahgunaan hak mengharuskan pemilik untuk menggunakan cara-cara yang memiliki akibat antisosial yang lebih besar daripada manfaat sah dari hak-hak pemilik. Misalnya, membiarkan wilayahnya dipergunakan untuk dijadikan sebagai pangkalan untuk melakukan serangan terhadap negara tetangga.

2. Patokan minimum acara yang adil      
         
          Adanya himpunan asas dasar tentang due process (proses peradilan) yaitu patokan minimum tertentu dalam administrasi peradilan yang adil dan pelaksanaan umum dalam sistem hukum dunia sehingga asas-asas tersebut menjadi patokan hukum internasional. Standar internasional ini telah lama memainkan peranan penting dalam artikulasi tanggung jawab internasional negara melebihi kepentingan ekonomi. Asas-asas ini antara lain, tak seorang pun akan ditangkap atau ditahan sampai waktu tak terbatas tanpa diadili, dan, tak seorang pun dapat dihukum tanpa diberi kesempatan untuk didengar di persidangan.





SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A.      Pembagian sumber hokum internasional
Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu ;
1.      Sumber hukum formail adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuknya.
2.      Sumber hukum materiil adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum.
Menurut Starke, sumber hukum materiil hukum internasional diartikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum intrenasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Jika dilihat pendapat para ahli
Macam-macam sumber hukum Internasional tersebut dapat dibedakan menjadi :
1.   Kebiasaan
2.   Traktat
3.   Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4.   Karya-karya Hukum
5.   Keputusan atau Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional.

Sedangkan menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah ;
1.   Perjanjian Internasional (International Conventions)

2.   Kebiasaan International (International Custom)

3.   Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.

4,   Keputusan Pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Theachings of the most highly qualified publicists).

Jelas bahwa penggolongan  sumber hukum internasional menurut pendapat para sarjana dan menurut pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional terdapat perbedaan yaitu yang dapat dijelaskan berikut ini:
a.       Pembagian menurut para sarjana telah memasukan keputusan badan-badan arbitrase internasional sebagai sumber hukum sedangkan dalam pasal 38 tidak disebutkan hal ini karena dalam praktek penyelesaian sengketa melalui badan  arbitrase internasional hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakan para pihak pda perjanjian.

b.   Penggolongan sumber hukum internasional menurut para sarjana tidak mencantumkan prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber hukum, padahal sesuai prinsip-prinsip hukum ini sangat penting bagi hakim sebagai bahan bagi mahkamah internasional untuk membentuk kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah Internasional untuk menyelesaiakn suatu sengketa. Hal ini sesuia dengan ketentuan pasal 38 ayat 2.Dalam pasal ini dijelaskan bahwa hakim dapat memutuskan sengketa internasional berdasarkan rasa keadilannya (hati nurani) dan kebenaran. Namun sampai saat ini sangat disayangkan bawasannya asas ini belum pernah dipakai oleh hakim dalam Mahkamah Internasional.

c.  Keputusan atau Ketetapan Organ-organ Internasional atau lembaga-lembaga lain tidak terdapat dalam pasal 38, karena hal ini dinilai sama dengan perjanjian internasional.

Berdasarkan sifat daya ikatnya:
Sumber hukum Internasional jika dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya maka dapat dibedakan menjadi 1. sumber hukum primer.
       2. sumber hukum subsider
Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi hakim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana sumber hukum primer.

Sumber Hukum Primer hukum Internsional
Sumber hukum Primer dari hukum internasional meliputi:
1.   Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.   Kebiasaan International (International Custom)
3.   Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara eradab.


Sedangkan sumber hokum subsider adalah :
4.      Keputusan pengadilan.
Walaupun urutan sumber hokum diatas telah ditetapkan oleh mahkamah internasional namun urutan tersebut tidak menunjukkan bahwa adanya hierarki sumber hokum tetapi ketiga sumber hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dari sumber hukum yang lain. Oleh karena sumber hukum internasional nomor 4 merupakan sumber hukum subsider maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja. Hal ini berarti bahwa sumber hukum tersebut hanya bersifat menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat berdiri sendiri.



1.      Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek hokum internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral. Perjanjian internasional merupakan sumber utama hokum internasional. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, Tujuan perjanjian ini adalah menetapkan kewajiban-kewajiban hukum tertentu dan segala akibatnya jika melakukan atau tidak melakukan kewajiban tersebut terhadap pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan sedangkan, multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu, jika perjanjian ini dapat mencerminkan pendapat masyarakat internasional pada umumnya, maka perjanjian tersebut bisa menjadi apa yang disebut dengan “Law-Making Treaty”.

Traktat yang membuat Hukum. Perjanjian ini menciptakan norma umum hukum yang akan dipakai oleh masyarakat internasional sebagai prinsip utama di masa mendatang guna menyelesaikan suatu perkara di antara mereka, sehingga law-making treaty ini selalu terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak ikut serta dalam perjanjian. konvensi – konvensi internasional yang merupakan sumber hokum utama adalah konvensi –konvensi yang berbentuk law-making treaties yaitu perjanjian – perjanjian internasonal yang memuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku umum. Sebagai contoh :
1.      Piagam perserikatan bangsa-bangsa, 1945.
2.      Konvensi PBB tentang hokum laut, 1982.
3.      Konvensi-konvensi den hag 1899 dan1907 mengenai hokum perang dan penyelesaian sengketa secara damai.
4.      Konvensi-konvensi Wina mengenai hubungan diplomatic, 1961 dan hubungan konsuler, 1963.

Pada  Konvensi wina Pasal 2 1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebgai:“Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”. Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu: “Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.

Secara umum perjanjian internasional dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu :
a. Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969) telah mengatur hal-hal yang menyangkut proses negosiasi atau penundukkan (accession), validitas, perubahan (amendment), pengecualian (reservation), penundaan (suspension) atau pemberhentian (termination) dari sebuah perjanjian internasional.
b. Pernyataan Sepihak (Unilateral Statement) atau Deklarasi yang memuat hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungannya dengan peristiwa tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah perjanjian sepihak yang menjadi suatu sumber hukum terbatas bagi negara yang mengeluarkan pernyataan tersebut.

            Berdasarkan praktek yang dilakukan oleh Negara-negara, maka dapat dibedakan perjanjian internasional itu dalam dua golongan yaitu  pada satu pihak terdapat perjanjian internasional yang diadakan menurut tiga tahap yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Pada pihak kedua perjajian internasional tersebut hanya melewati dua tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Biasanya perjanjian yang dilakukan dalam tiga tahap adalah perjanjian yang  dianggap penting sehingga memerlukan persetejuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian ( treaty making power ), sedangkan pada perjanjian yang kedua adalah untuk perjanjian yang dianggap tidak terlalu penting, namun memerlukan penyelesaian yang cepat seperti pada perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.

            Dalam hal membuat perjanjian internasional yang dibagi dalam tiga tahap yaitu :
1.      Perundingan ( negotiation )
2.      Penandatanganan ( signature )
3.      Pengesahan ( ratification )

Persoalan persyaratan ( reservation ) dan mulai berlakunya ( entri into force ) juga sering dibicarakan orang hokum internasional sekarang ini menganggap bahwa setiap Negara mempunyai kemampuan yang sama dalam mengadakan hubungan maupun perjanjian internasional. Dalam Negara federal pada umumnya Negara bagian dari Negara tersebut tidak mempunyai wewenang dalam melakukan perjanjian internasional. Walaupun demikian, ada kalanya Negara bagian demikian diberi wewenang oleh konstitusi Negara yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian internasional. Contohnya adalah Negara bagian uni soviet yang turut serta dalam perundingan Konferensi Jenewa tahun1958 mengenai Hukum Laut sebagai peserta yang berdiri sendiri dan terpisah dari Uni Soviet.

Untuk menjadi wakil dari sebuah Negara pada sebuah konverensi atau perundingan atau perjanjian internasional maka hokum internasional mengadakan ketentuan tentang kuasa penuh ( full powers ) yang harus dimiliki oleh orang – orang yang mewakili suatu Negara dalam perundingan untuk mengadakn perjanjian internasional. Menurut ketentuan ini, seseorang hanya dapat dianggap mewakili suatu Negara dengan sah sehingga dapat mensahkan naskah perjanjian tersebut atas nama negaranya dan mengikat negaranya maka ia harus dapat menunjukkan surat kuasa penuh ( full powers atau credentials ) kecuali jika ditentukan lain oleh peserta perjanjian.

Keharusan menunjukkan surat kuasa penuh tidak berlaku lagi bagi: Kepala Negara, Kepala Pemerintahan ( Perdana Menteri ), Menteri Luar Negeri, kepala perwakilan diplomatic yang karena jabatannya dianggap sudahmewakili negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat negaranya pada suatu perjanjian yang diadakan. Surat kuasa penuh tersebut sangat resmi bentuknya dan untuk memeriksa sah tidaknya sebuah surat kuasa penuh tersebut biasanya suatu konferensi membentuk satu panitia pemeriksa surat-surat kuasa penuh ( credential committee ).

Penerimaan naskah ( adoption of the tex ) suatu perjanjian dalam suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh banyak Negara biasanya dilakukan dengan dua per tiga suara dari peserta konferensi, kecuali jika para peserta konferensi menentukan lain.

Dalam praktik, konferensi atau para peserta konferensi dapat menetapkan sendiri ketentuan mengenai pemungutan suara yang akan menentukan antara lain keputusan untuk menerima naskah perjanjian. Ketentuan mengenai kelebihan suara dua per tiga dari peserta yang hadir yang memberikan suara merupakan praktik yang sudah lazim dalam konferensi internasional yang diadakan dibawah naungan PBB. Ketentuan ini telah diterima untuk sementara oleh konferensi wina tahun 1968 mengenai hokum perjanjian.

Pengesahan bunyi naskah yang diterima sebagai naskah yang terahir dilakukan menurut cara yang disetujui oleh semua Negara peserta yang mengadakan perundingan. Persetujuan suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian ( consent to be bound by a treaty ), dapat diberikan dengan berbagai cara dan tergantung kepada persetujuan antara Negara-negara peserta pada waktu perjanjian itu diadakan. Persetujuan untuk mengikat diri pada suatu perjanjian itu dapat dilakukan dengan suatu penandatanganan, ratifikasi pernyataan turut serta ( accession ) atau menerima (acceptance ) suatu perjanjian.

Ada kalanya suatu Negara mengikat dirinya dengan syarat bahwa persetujuan demikian harus disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Dalam hal demikian, persetujuan pada perjanjian yang diberikan dengan penandatanganan itu bersipat sementara dan masih harus disahkan. Pengesahan atau penguatan demikian dinamakan ratifikasi. Ratifikasi atau pengesahan tanda tangan yang dilakukan oleh wakil Negara yang turut serta dalam perundingan berasal dari zaman dahulu ketika kepala Negara perlu meyakinkan dirinya bahwa utusan yang telah diberi kuasa penuh olehnya tidak melampaui batas kewenanganya.
Dalam praktek nasional Negara-negara ratifikasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
a.      Sistem bahwa ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif,
b.      Sistem bahwa ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan legislative,
c.       Sistem campuran bahwa baik badan eksekutif maupun legislative memainkan suatu peranan dalam proses ratifikasi suatu perjanjian.

Tentang hal berahirnya suatu perjanjian dapat dilihat dari beberapa sebab yaitu :
1.      Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu,
2.      Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu,
3.      Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian tersebut,
4.      Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian tersebut,
5.      Karena diadakanya perjanjian antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu,
6.      Karena dipenuhinya syarat tentang berahirnya perjajian tersebut ,
7.      Diahirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak yang lain.

            Terdapat enam klasifikasi perjanjian menurut materi yang pengesahannya memerlukan undang-undang yaitu perjanjian yang berkenaan dengan :
1.      Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara.
2.      Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara republic Indonesia.
3.      Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.
4.      Hak asasi manusia atau hak lingkungan hidup.
5.      Pembentukan kaidah hokum baru.
6.      Pinjaman dan atau hibah dari luar negeri.


Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
1. Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama.
2. Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi.

Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut.

Sebaliknya tidak dapat dianggap sebagai sebuah perjanjian internasional yaitu perjanjian-perjanjian yang diadakan pada masa lampau seperti pada perjanjian antara serikat dagang Belanda dengan Raja-raja di Hindia –Belanda dan tidak pula dapat dimasukan perjanjian antara suatu Negara dengan orang perorangan.

Dalam hokum internasional dewasa ini ada kecenderungan mengatur hokum perjanjian antara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi internasional dengan subjek hokum internasional lainnya secara tersendiri. Perjanjian internasiona juga dapat dinamakan dengan berbagai istilah seperti Traktat (treaty), Pakta(pact), convensi(convention), Piagam(statute), Protocol dan sebagainya,


2.      Kebiasaan Internasional (Customary Law)

Hokum kebiasaan berasal dari praktek Negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambilnya dalam menyelesaikan suatu persoalan. Untuk dapat dikatakan sebagai sumber hokum internasional maka suatu kebiasaan internasional tersebut harus memenuhi unsure-unsur :
a.       Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersipat umum.
b.      Kebiasaan itu harus diterima sebagai hokum.
c.       Sudah dilakukan berulang kali.

Ada dua elemen yang harus ada dalam kebiasaan internasional untuk bisa dipakai sebagai sumber hukum internasional:
1.  Praktek Negara-negara: Unsur-unsur yang dilihat dalam praktek negara adalah seberapa lama hal itu sudah dilakukan secara terus menerus (duration); keseragaman atau kesamaan dari praktek tersebut dalam berbegai kesempatan dan berbagai pihak yang terlibat (uniformity) serta kadar kebiasaan yang dimunculkan oleh tindakan tersebut (generality). Opinio Juris sive Necessitatis Ini adalah pengakuan subyektif dari negara-negara yang melakukan kebiasaan internasional tertentu dan kehendak untuk mematuhi kebiasaan internasional tersebut sebagai sebuah hukum yang memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara tersebut.

Bukti keberadaan sebuah kebiasaan internasional ialah: Korespondensi Diplomatik, pernyataan kebijakan, siaran pers, pendapat dari pejabat yang berwenang tentang hukum, keputusan eksekutif dan prakteknya, Undang-undang nasional, keputusan pengadilan nasional, kutipan dalam sebuah perjanjian internasional, paktek lembaga-lembaga internasional, dan resolusi yang dikeluarkan Sidang Umum PBB. Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional (persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut terhadapnya. Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau regional saja.

Contoh ketentuan hokum internasional yang terjadi melalui proses kebiasaan internasional adalah didalam hokum perang. Penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yaitu bendera yang memberikan perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh, timbul karena kebiasaan demikian dimasa lampau diterima sesuai sebagai dengan hokum.


3.      Prinsip-Prinsip Hukum Umum

Sumber hokum yang ketiga menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional ialah asas hokum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradap . yang dimaksud dengan asas hokum umum ini ialah asas yang mendasari sistem hokum modern. Sumber hukum ini dgunakan ketika perjanjian internasional dan kebiasaan yang ditemukan tidak kuat dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu perkara. Hal ini penting dilakukan agar pengadilan tidak berhenti begitu saja karena tidak ada aturan yang mengatur (non liquet). Namun sampai saat ini belum terlalu jelas apakah yang dimaksud sebagai prinsip hukum hanya yang telah diakui oleh msayarakat internasional ataukah prinsip hukum nasional tertentu saja sudah cukup.

Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan suatu perjanjian internasional. Pada dasarnya yang menjadi sumber hokum umum ialah prinsip hokum umum dan tidak hanya asas hokum internasional, dengan demikian yang dimaksud dengan asas hokum umum misalnya asas hokum perdata seperti asas pacta sunt servanda, asas bona fides ( itikat baik ), abus de droit  (asas penyalahgunaan hak) serta asas adimplenti non est adiplendum dalam hokum perjanjian. Asas hokum yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat 1 ialah asas hokum umum, jadi selain asas hokum perdata yang disebutkan diatas meliputi juga asas hokum acara dan hokum pidana.

Adanya asas hokum umum sebagai sumber hokum primer berdiri sendiri disamping perjanjian dan kebiasaan internasional, sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hokum internasional sebagai sistem hokum positif. Karena dengan adanya sumber hukum ini mahkamah tidak dapat menyatakan non liques yakni menolak mengadili suatu perkara karena tidak adanya hokum yang mengatur persoalan yang diajukan. Berhubungan erat dengan hal ini ialah bahwa kedudukan mahkamah internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hokum baru, diperkuat dengan adanya sumber hokum yang ketiga ini.


Inadimplenti non est Adimplentum

Alberto Cruz
Pemberontakan

Ada yang harus dipenuhi yang tidak mematuhi. Pepatah latin ini dinyatakan dalam Hukum Internasional Publik sebagai pengecualian terhadap prosedural, adimplenti contractus tidak, dan dalam kebajikan dari perjanjian antara Negara jika pihak gagal, maka yang lain tidak diperlukan untuk memenuhi kewajiban mereka. Ketentuan ini, pengembangan prinsip timbal balik dalam hubungan internasional, mengatakan bahwa pelanggaran serius dari perjanjian bilateral oleh salah satu pihak memberikan hak yang lain untuk menghentikan atau menangguhkan perjanjian secara keseluruhan atau sebagian. Aturan yang sama mengatur kasus perjanjian multilateral di mana, jelas, prinsip ini memiliki beberapa fitur khusus, misalnya, bahwa pengecualian ini tidak berlaku untuk norma-norma prosedural kemanusiaan, khususnya ketentuan yang melarang segala bentuk pembalasan sehubungan dengan orang-orang yang dilindungi oleh perjanjian tersebut.

Karena nilai maksimum dari Amerika Serikat dan kacung dalam kancah politik internasional, "intelektual" termasuk (tipe Ignatief, Kagan, Garton Ash dan perusahaan, untuk memastikan bahwa setiap orang adalah orang lain di negara Anda sendiri), yaitu menjadi "kembali kritis" contoh-contoh sesuai dengan tujuan Anda multinasional (seperti Organisasi Perdagangan Dunia dan Bank Dunia, misalnya) dan "mengabaikan atau sabotase" yang tidak (seperti Mahkamah Pidana Internasional atau Protokol Kyoto, tidak akan yang luas) dan Anda harus mengabaikan aturan hukum internasional di mana sesuai dengan kepentingan mereka (seperti dalam kasus penyiksaan tahanan Irak dan aplikasi atau tidak Konvensi Jenewa, atau kekebalan pasukan di Irak dan kebiadaban lainnya, memaafkan pun), itu adalah waktu yang kiri adalah untuk menerapkan prosedur ini pengecualian, bahkan peregangan dan menarik konteks aplikasi Anda, tetapi berfungsi sebagai contoh, kembali esensi mereka dan memungkinkan untuk menjadi fungsional dan adaptif untuk sistem dengan keyakinan bahwa hal itu akan lebih berpengaruh.

Aku sudah mengatakan sebelumnya di halaman ini ("Klub orang miskin", 20 Juni 2003) tapi sekali lagi menggunakan prinsip jurnalistik tua menurut yang redundansi membantu untuk lebih memahami pesan, asalkan tidak ada menjadi ulangi: tidak ada alasan untuk menerima wacana Barat, dan menghormati kurang hak asasi manusia dan perdamaian. Sementara Barat tidak memenuhi standar yang telah diberikan dan telah menetapkan standar dunia dan nilai-nilai yang telah dipaksakan oleh kekerasan, seperti ketika dia menaklukkan dunia, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Oceania tidak keunggulan nilai-nilainya, tetapi dengan keunggulannya dalam memaksakan kekerasan terorganisir, dan dengan demikian menjaga darah dan api (Irak dan Palestina adalah referensi jelas, tetapi tidak melupakan agresi Kuba konstan dan penderitaan, sebagai penguatan kedua terakhir dari blokade, dan Venezuela) untuk menerima aturan dari permainan ini adalah seperti asumsi yang dimainkan di lapangan yang aneh dengan aturan arbiter parsial selalu memungkinkan kemenangan rumah. Dan ini juga berlaku untuk wacana hak asasi manusia (lihat AS tidak mengutuk atau sekarang di Jenewa pada KTT Guadalajara dan ada banyak laporan-laporan Amnesti Internasional dan, tentu saja, hanya peduli dengan hak-hak politik dan warga sipil, bukan ekonomi, sosial dan budaya) dan perdamaian, yang memiliki dua konsepsi, negatif (tidak ada konflik) atau positif (resolusi penyebab yang menimbulkan konflik ini). Untuk keduanya, jika tidak lengkap, tidak melayani individu, apalagi kepada orang-orang.

Mengakhiri wacana "viabilitas"

Dalam kata, dan meskipun tidak secara ketat diterapkan: non est inadimplenti adimplentum. Kita harus melakukan jauh dengan setengah-setengah, dengan wacana demobilisasi dari "kelangsungan hidup" sebagai faktor yang menentukan ketika datang untuk mendukung dan mengembangkan proyek-proyek politik yang spesifik, sebuah wacana yang mengatakan bahwa aliansi dengan, hak liberal dan pusat-satunya cara yang mungkin layak dalam kerangka kerja global yang dominan dan cara pemberontakan, perjuangan bersenjata dan mobilisasi rakyat yang layak. Kita harus mengakhiri mode ideologis dari "politik yang benar", yang pret-a-porter di sebelah kiri mengasumsikan ada tanda-tanda kritik terhadap nilai-nilai borjuis dengan niat untuk menjadi "politik yang relevan" dalam keyakinan bahwa mereka memberikan pengaruh yang lebih dalam sistem. Artinya, dengan asumsi nilai-nilai ini menjadi fungsional dan adaptif melupakan pepatah Latin kuno bahwa Roma tidak membayar pengkhianat.

Dengan apa yang terjadi di Irak dan Palestina adalah pada saat yang kritis dan tidak layak kompromi. Karena sikap yang Anda ambil sekarang akan tergantung pada kelangsungan hidup Kuba, kontinuitas pengalaman Venezuela ... Dengan kata lain, kemerdekaan, kedaulatan dan martabat rakyat tidak hanya tergantung pada perjuangan bangsa sendiri, tetapi dukungan yang mereka berikan tanpa syarat. Dan kita harus mulai membongkar wacana seperti hak asasi manusia (sekarang yang dibuat publik laporan Amnesty International) dalam konsepsi sempit dikeluarkan oleh Revolusi Perancis tahun 1789, hak-hak sipil dan politik, dan dianggap sebagai gambar masyarakat atas dan tidak berubah terlepas dari sebagian besar penduduk dunia menderita kebijakan diskriminasi, sosial, ekonomi dan tidak memenuhi hak-hak mereka yang paling dasar kehidupan. Beberapa hak asasi manusia, dalam hal ini konsepsi sempit, dikonversi untuk menjadi ujung tombak serangan terhadap faktor-faktor politik, sosial dan budaya yang tidak menyenangkan Barat. Dan Anda harus mulai mengatakan bahwa Barat mencoba untuk memaksakan aturan sebagai dalam diskusi hanya bila tidak ada konsepsi tunggal mengenai hak asasi manusia yang diterima oleh semua bangsa dan orang dan komunitas hukum internasional dan bahwa masalah ini, hak manusia, ini berfungsi untuk menggunakan hak untuk campur tangan (melihat posisi umum dari Uni Eropa di Kuba, misalnya) atau untuk menyerang dan menggulingkan pemerintah yang dianggap tidak dapat diterima sistem (lihat wacana saat ini pada Irak).

Dan Anda harus mulai mengatakan, semakin kuat bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 adalah konsepsi sangat individualistik, yang diadopsi ketika Barat terus kolonisasi sebagian besar Asia dan Afrika dan sebagai hasil dari perjuangan keras pembebasan nasional Afrika dan Asia dan dekolonisasi berlangsung menjadi bagian dari kerangka hukum internasional hak-hak kolektif masyarakat. Ini adalah kasus Resolusi 1514/1960 dari Majelis Umum PBB, yang dalam Pasal 1 mengatakan bahwa "penundukan masyarakat untuk penaklukan asing, dominasi dan eksploitasi merupakan penyangkalan terhadap hak-hak fundamental, adalah bertentangan dengan Piagam PBB dan merupakan penghalang bagi perdamaian dan kerjasama global "(lihat kasus Irak, misalnya), dan 2 Pasal menyatakan bahwa" semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri, di bawah ini bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya "(lihat kasus Kuba dan Venezuela, misalnya).

Ini adalah kasus Resolusi 2000/1966 Majelis Umum PBB, mewujudkan dalam bentuk hak penuh untuk menentukan nasib sendiri, hak masyarakat dan bangsa untuk kedaulatan permanen atas kekayaan alam dan sumber daya dan pertimbangan keduanya prasyarat untuk realisasi modal yang efektif hak asasi manusia.

Resolusi ini telah turun dalam sejarah sebagai Kovenan Internasional Hak Asasi Manusia, namun belum begitu sukses dalam menyebarkan seperti 1948 (latihan ketajaman mental, rasa kurang dari sepuluh detik penyebabnya).

Ini adalah kasus Proklamasi Teheran, yang PBB memperingati ulang tahun kedua puluh dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan pada ayat 10 mengatakan bahwa "tindakan agresi membawa penolakan hak asasi manusia" (lihat kasus Yugoslavia, Irak dan Palestina dan, jika tidak memulihkan, Kuba dan Venezuela di masa depan). Dan ini proklamasi yang sama menyediakan, dalam ayat 13, definisi yang paling komprehensif dari hak asasi manusia diadopsi oleh sistem multinasional ditutupi oleh PBB dan masih berlaku, tetapi membenci Barat, "sebagai hak asasi manusia dan kebebasan fundamental adalah terpisahkan, melakukan hak-hak sipil dan politik tanpa penikmatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak mungkin. "

Ini adalah kasus Resolusi 32/310 tahun 1977, Majelis Umum PBB, yang menegaskan titik 13 Proklamasi Teheran dan menambahkan dua paragraf, c) "semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar dari individu manusia dan masyarakat dapat dicabut ', dan d) "sebagai hasilnya, isu hak asasi manusia harus diperiksa secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan konteks keseluruhan dari berbagai masyarakat di mana mereka dimasukkan dan kebutuhan untuk mempromosikan martabat penuh pribadi manusia dan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. " Resolusi ini kembali terpilih pada tahun 1986 dalam organisasi multinasional dan telah disetujui oleh mayoritas dengan satu suara abstain terhadap dan 25 (mengetahui dalam waktu kurang dari sepuluh detik hanya negara yang memberikan suara menentang dan negara-negara Barat abstain: trek, dua dari mereka terwakili dalam foto Azores yang memilih menentang).

Mempertajam kontradiksi

Seseorang mungkin bertanya pertanyaan apa peran resolusi ini di saat PBB lebih lemah dari sebelumnya, melayani kepentingan AS, didiskreditkan dan tidak memenuhi perannya sebagai fasilitator dalam hubungan internasional . Tapi ketika para pelaku hak asasi manusia dalam skala besar lagi karena secara obyektif melayani kepentingannya, maka keras pada resolusi baru tentang Irak. Oleh karena itu, sirvámonos juga untuk mempertajam kontradiksi dalam barisan kita sendiri dulu.

Jika ada yang membaca artikel ini dianggap sebagai kutipan progresif sosialis Jerman, Karl Liebknecht, ketika ia mengatakan bahwa jika "orang yang merasa kiri adalah di parit yang sama yang satu kanan hal pertama yang mereka lakukan adalah kritik-diri." Jika setiap orang yang membaca itu adalah seorang Katolik, saya akan mengutip seorang pemikir dan penulis Spanyol Jose Bergamin, seorang korban berpihak dengan legalitas Republik Kedua dan mengatakan "ada pemikiran, dan berpikir adalah komitmen." Jika setiap orang yang membacanya adalah orang yang berhubungan dengan dunia akademis (dalam perannya sebagai guru atau siswa), saya mengutip pendidik Brasil Paulo Freire ketika ia mengatakan bahwa "tidak cukup untuk membaca, tetapi kita harus memahami dunia." Jika setiap orang yang membacanya adalah orang yang memiliki pandangan dunia yang konsisten dengan gambaran di media massa, mengutip filsuf lain Jerman Herbert Marcuse ketika ia mengatakan bahwa "masalah tidak terang-terangan menyesatkan media, tetapi pencampuran, sebaliknya, kebenaran dengan setengah kebenaran dan kebohongan komentar terbuka membuat penilaian informasi dan nilai, informasi dengan iklan dan propaganda dan semua bertujuan untuk membuat gambar siap pakai untuk penampil yang hanya mencari apa yang mereka ingin memberi Anda: tidak adanya bermasalah, ketidakpedulian terhadap kekerasan. "

Ini adalah apa Marcuse disebut "dorongan pengulangan" dilakukan dengan tujuan menghancurkan otonomi mental, kebebasan berpikir dan yang mau tidak mau mengarah ke inersia, penyerahan dan pengunduran diri untuk berubah. Dan itulah yang terjadi hari ini. Dunia ini ngeri dengan gambar dari tahanan Irak disiksa dilakukan pasukan pendudukan AS, tetapi tidak untuk pemboman besar Fallujah dan Rafah (Palestina). Dan gambar-gambar yang tak tertahankan, tetapi yang diperlukan untuk regenerasi dari sistem, sedangkan perlawanan Irak atau Palestina melawan tali menempatkan sistem yang sama dan di sini kami bermain kesejahteraan kita dan posisi kita. Jadi, tidak ada dukungan bagi perlawanan Irak, karena takut bahwa sistem akan menunjukkan jari dan Anda mengidentifikasi dengan kekerasan. Jadi, tidak ada dukungan bagi perlawanan Palestina, untuk menyingkirkan sambenito dari "antisemitic." Mengapa tidak mendukung akan rakyat Kuba untuk menahan twist baru sengit dengan blokade, karena takut dicap "pro-Castro." Jadi tidak mendukung proses Venezuela, karena takut dianggap "populis." Ada ketakutan kehilangan ruang telah dicapai dalam sistem. Tapi mungkin itu adalah Anda harus mulai berkencan dengannya. Dan cara yang baik adalah tidak memenuhi yang tidak sesuai.


Doktrin Brezhnev adalah kebijakan luar negeri Uni Soviet, pertama dan paling jelas diuraikan oleh S. Kovalev dalam, 26 September 1968 Pravda Artikel berjudul Leonid Brezhnev menegaskan dalam sebuah pidato di Kelima "Kedaulatan dan Kewajiban Internasional Negara Sosialis." Kongres Partai Pekerja Polandia Serikat 'pada tanggal 13 November, 1968 yang menyatakan:

    "Ketika pasukan yang memusuhi sosialisme mencoba untuk menghidupkan pengembangan beberapa negara sosialis menuju kapitalisme, hal itu tidak hanya menjadi masalah negara yang bersangkutan, tapi masalah umum dan kepedulian dari semua negara-negara sosialis."

Doktrin ini diumumkan ke surut membenarkan invasi Soviet Cekoslowakia pada Agustus 1968 yang mengakhiri Musim Semi Praha, bersama dengan intervensi militer sebelumnya Soviet, seperti invasi dari Hungaria pada tahun 1956. Intervensi ini dimaksudkan untuk mengakhiri upaya liberalisasi demokratis dan pemberontakan yang memiliki potensi untuk kompromi hegemoni Soviet di dalam blok Timur, yang dianggap oleh Soviet menjadi penyangga defensif dan strategis penting dalam permusuhan kasus dengan NATO untuk keluar .

Dalam prakteknya, kebijakan tersebut dimaksudkan bahwa kemerdekaan terbatas dari partai komunis diizinkan. Namun, tidak ada negara akan diizinkan untuk meninggalkan Pakta Warsawa, mengganggu monopoli partai komunis bangsa pada kekuasaan, atau dengan cara kompromi kekompakan blok Timur. Implisit dalam doktrin ini adalah bahwa kepemimpinan Uni Soviet disediakan, untuk dirinya sendiri, hak untuk mendefinisikan "sosialisme" dan "kapitalisme". Setelah pengumuman Doktrin Brezhnev, banyak perjanjian telah ditandatangani antara Uni Soviet dan negara-negara satelitnya untuk menegaskan kembali titik-titik ini dan untuk lebih memastikan kerjasama antar-negara. Prinsip-prinsip doktrin itu begitu luas bahwa Soviet bahkan menggunakannya untuk membenarkan intervensi militer mereka di negara Pakta Warsawa non-Afghanistan pada tahun 1979. Ajaran Brezhnev tetap berlaku sampai akhirnya berakhir dengan Soviet non-invasi Polandia selama krisis 1980-1981 [1] dan kemudian penolakan Mikhail Gorbachev untuk menggunakan kekuatan militer ketika Polandia diadakan pemilihan umum yang bebas pada tahun 1989 dan Solidaritas mengalahkan Komunis Partai [2]. Hal itu digantikan oleh Ajaran Sinatra bercanda bernama pada tahun 1989.

Hanya sedikit orang di Amerika Serikat (atau sisa dunia?) Memiliki pemahaman yang baik tentang peristiwa sekitar Oktober 1983 US "intervensi" di Grenada. Oleh karena itu, kebanyakan orang memiliki kesan buruk dari peristiwa-peristiwa, karena itulah yang dilaporkan pers. Sekarang saya benar, saya biasanya memilih Demokrat, jadi saya tidak punya cinta tertentu maka Presiden Ronald Reagan, kebijakan-kebijakannya, imperialisme AS atau US ekspansionisme, tapi mendengar saya keluar karena pers memberikan kita semua kesan yang salah.

Kami telah mengunjungi Grenada beberapa kali sebelum AS datang, dan selalu terkesan dengan Grenadians. Sementara berjalan di sekitar pulau-pulau Karibia lainnya, kita sering akan mendengar "Hei lompat, gimmie sebuah Dolla '." Di Grenada itu lebih sering "Hei lompat, Anda punya kebutuhan anyt'ing bekerja di kapal Anda '?" Bagi saya, ada perbedaan besar. Grenadians, sebagai individu, yang bersedia bekerja untuk uang mereka.

Tetapi sebenarnya, Perdana Menteri Maurice Bishop pasti anak didik Castro. Ada banyak tanda-tanda sekitar pulau mengatakan hal-hal seperti "Beli Grenada" dan "Bekerja keras untuk membangun sebuah Grenada kuat" dan perempuan mengemudi traktor atau perahu nelayan, dan hal lain yang kita kaitkan dengan retorika Komunis. Tapi konsep ini, diambil sendiri, tidak buruk untuk sebuah bangsa muncul, dan perbendaharaan bahwa Uskup mengambil alih itu bangkrut. Administrasi (sangat korup) sebelumnya telah mengisapnya kering (lihat bagian sejarah Grenada). Jadi, ketika Castro menawarkan untuk membangun Grenada bandara modern, Uskup melompat di itu.

Bagaimana konsep ini 2 - yang ingin bekerja untuk maju, dan pemerintah komunis - dapat hidup berdampingan di Grenada pada saat yang sama masih merupakan misteri bagiku. Saya sudah bicara dengan banyak orang di Grenada untuk mencoba memahami ini, tapi aku belum datang dengan jawaban yang saya bisa menjelaskan dengan mudah. Seperti dekat yang bisa saya katakan, Grenada itu (dan) penuh dengan ramah, miskin, kapitalis meningkat kewirausahaan muda. Mungkin orang-orang lokal tidak mungkin benar-benar telah memahami bahwa Komunisme berarti tidak ada yang mendapat depan.

By the way, yang paling eks-Inggris pulau di sini bereksperimen dengan pemerintah Komunis dan / atau Sosialis pada satu waktu atau yang lain tak lama setelah kemerdekaan mereka. Aku ingat tidak bisa mengimpor Radio Shack-floppy disk drive (segala sesuatu) ke St Lucia karena peralatan itu dianggap terlalu hi-tech bagi pemerintah yang kemudian, dan Amerika Serikat telah menampar pembatasan impor pada mereka!

Hal lain yang aneh adalah bahwa kita tidak pernah melihat ada orang Kuba di Grenada, meskipun kami mengunjungi pulau itu dan bepergian ke seluruh beberapa kali kembali kemudian. Rupanya, mereka terus untuk memiliki "senyawa" mereka. Satu-satunya tanda dari Kuba dianggap kita sebenarnya cukup lucu. Suatu hari kedutaan Kuba disebut Grenada Coast Guard di radio VHF laut, dan kami mendengarkan tanpa malu-malu masuk Operator kedutaan penuh kawan kawan ini dan itu, dan segera menjadi jelas bahwa Grenada Coast Guard tidak pernah "kawan-red "siapa pun dalam kehidupan mereka! Ini histeris mendengarkan mereka mencoba dan mendengar mereka mengacaukannya dan perjalanan di seluruh lidah mereka.

Salah satu hal yang tidak membuatnya menjadi pers AS adalah bahwa sebagian besar mantan-Inggris lainnya kepulauan Karibia yang sedikit prihatin dengan Kuba. Diharapkan bahwa mereka akan membangun bandara dan pergi. Aku bahkan mendengar sentimen bahwa pada Grenada. Yang tampaknya tidak setuju dengan garis partai resmi, tapi Grenada adalah miskin dan sebagian besar tidak berpendidikan, dan seperti yang telah saya katakan sebelumnya, saya menduga orang-orang biasa tidak benar-benar memahami komunisme, terutama bentuk ringan dipraktekkan oleh Uskup. Mereka hanya ingin pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah dan rumah sakit untuk mereka, dan Uskup melakukan pekerjaan terpuji itu.

Tapi apa benar-benar jengkel saya adalah bahwa pers AS (dan mungkin dunia pers juga) benar-benar mengabaikan fakta bahwa setiap salah satu dari negara-negara Karibia Timur sangat senang bahwa AS akhirnya turun dari pantat mereka dan melakukan sesuatu tentang Kuba! Semua atas dan ke bawah pulau-pulau, orang mengenakan ban lengan hitam dalam solidaritas dengan AS dan dengan Uskup (yang telah dibunuh, bersama dengan banyak kabinetnya, oleh anggota radikal dari partainya sendiri).

Di sini AS akhirnya melakukan sesuatu yang benar, dan tekan mengabaikan fakta penting! Pada saat itu, banyak pers bekerja keluar dari ruang tamu seorang teman saya, dan dia mengatakan bahwa ratusan laporan akan datang setiap hari bertepuk tangan tindakan AS, tetapi pers mengabaikan mereka karena "berita gembira isn ' t berita ". Sebaliknya, pers akan fokus pada laporan satu menghina yang pasti akan datang dengan semua yang bagus.

Kebetulan, saya mendengar bahwa kemudian Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher datang unglued pada saat itu karena AS tidak menceritakan padanya bahwa mereka akan masuk, padahal, mereka mungkin mengatakan terlalu banyak orang. Sesuatu bocor dan Kuba memukul mata bajak mereka kembali ke AK47s dan AS kehilangan sesuatu seperti 70 prajurit yang baik.

Ketika kami kembali ke Grenada, tepat sebelum Natal '83, memerangi secara efektif berakhir. Tentara AS membagi-bagikan mainan Natal untuk anak-anak Grenada, yang benar-benar mencintai mereka. "God Bless America" ​​dilukis oleh penduduk setempat di dinding, di billboard, bahkan tepat di jalan mana pun kita pergi. Pada saat itu, kami menjelajahi dengan jelajah teman Steve dan Jan Reed. Sekarang, Steve adalah mantan pilot helikopter Korps Marinir. Meskipun saat ini tidak aktif, dia bertugas di Vietnam dan melihat lebih dari dia akan berbicara tentang. Suatu hari kami berjalan di jalan ketika seorang wanita tua berlari keluar dari gubuk itu, jatuh berlutut di kaki Steve, dan mulai memeluk dia dan mengatakan kepadanya betapa senangnya dia bahwa AS telah tiba. Dia begitu emosional dalam memuji dia dari US bahwa dia membuat Steve menangis dengan dia, tepat di tengah jalan. Powerfull hal.

Amerika membutuhkan banyak panas untuk kebijakan luar negeri miskin. Beberapa yang mungkin dibenarkan, tapi tidak semua. Ini bug saya bahwa pers memiliki kesempatan besar untuk melaporkan sesuatu yang baik, dan memutuskan untuk berfokus pada kuantitas menit negatif. Tindakan dan perasaan orang-orang di sini tidak akurat dilaporkan, merugikan Amerika. Pers harus malu sendiri.

(1983)

Grenada pertama menarik kepentingan militer Amerika Serikat pada tahun 1979. Sebuah kudeta Marxis-Leninis tahun itu, dipimpin oleh Maurice Bishop dan gerakan Jewel Baru, menggulingkan pemerintah; Komunis juga mulai pembangunan lapangan terbang 9.800 kaki. Sebuah kudeta kedua dan lebih ganas pada tahun 1983 Uskup kiri dan lebih dari 100 Grenadians lainnya mati dan Deputi Perdana Menteri dan Jenderal Bernard Coard Hudson Austin yang bertanggung jawab. Menanggapi hal ini kekerasan dan gangguan, Gubernur Grenada umum, Sir Paul Scoon, diam-diam meminta Organisasi Negara-negara Karibia Timur (OECs) untuk bantuan dalam memulihkan ketertiban. Para OECs, pada gilirannya, meminta bantuan dari Amerika Serikat.

Untuk sangat anti-Komunis presiden AS, Ronald Reagan, kemungkinan Soviet klien-negara di lokasi yang strategis seperti itu tidak bisa diterima. Landasan dipandang sebagai ancaman bagi sealanes Karibia vital dan Terusan Panama, dan itu bisa digunakan untuk pementasan penerbangan militer Kuba dan Uni Soviet ke Afrika dan Nikaragua. Para pejabat AS juga menyatakan keprihatinan mereka atas keselamatan sekitar 1.000 orang Amerika, sebagian besar mahasiswa kedokteran, yang hidup di Grenada. Sehari setelah Uskup dibunuh, Angkatan Laut AS gugus tugas, dengan Marinir, diperintahkan untuk Grenada.

Intervensi militer AS di Grenada pada tahun 1983, kode-bernama "Fury Mendesak," itu buru-buru direncanakan tetapi luar biasa. Kekuatan invasi termasuk Carrier Kemerdekaan Kelompok Pertempuran; helikopter pembawa Guam dan Skuadron Amfibi Empat; 1.700 Marinir dari Unit Amphibi Marinir 22, dua tentara ranger batalyon; sebuah brigade siap Divisi Airborne ke-82; berbagai unit operasi khusus, dan pasukan tanda dari OECs. Ternyata bahwa pulau itu dipertahankan oleh hanya sekitar 500 sampai 600 pasukan Grenadian; 2.000 sampai 2.500 anggota milisi, dan 750-800 Kuba, sebagian besar pekerja konstruksi militer.

Pasukan AS mulai mendarat di Grenada pada 25 Oktober. Tujuan mereka adalah untuk merebut bandara, menghancurkan Radio Free Grenada, dan menjamin keamanan penduduk warga AS. Dengan 28 Oktober, Grenada tegas di bawah kendali pasukan AS dan OECs. Meskipun akhirnya berhasil, ada sejumlah masalah serius dengan Fury Mendesak, di antara mereka tidak memadai dan buruk disebarluaskan informasi intelijen dan kegagalan komunikasi dan kegagalan koordinasi di antara tentara, angkatan laut, dan unit Kelautan. Pertempuran singkat untuk biaya Grenada kehidupan 18 prajurit AS, termasuk sebelas tentara, 3 Marinir, Angkatan Laut SEAL dan 4; lain 116 prajurit AS terluka. Kuba korban tewas 25 dan 59 terluka; korban tewas dan 45 Grenadian 350 terluka.

Asas pacta sunt servanda
Perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyelenggarakan.

Pacta sunt servanda adalah istilah latin yang berarti perjanjian harus dijaga. Ini adalah prinsip dalam hukum internasional yang mengatakan bahwa perjanjian internasional harus dijunjung oleh semua penandatangan. Aturan pacta sunt servanda didasarkan pada prinsip itikad baik. Dasar iman yang baik menunjukkan bahwa pihak dalam perjanjian tidak dapat memanggil ketentuan hukum nasionalnya sebagai pembenaran untuk kegagalan untuk melakukan. Batas pacta sunt hanya untuk servanda adalah norma ditaati umum hukum internasional dikenal sebagai "jus cogens" yang berarti hukum yang menarik.

Pacta tertiis nec nec nocent prosunt



Suatu perjanjian internasional mengikat para pihak dan hanya pihak; itu tidak menciptakan kewajiban untuk Negara ketiga tanpa persetujuan (Pasal 34), karena kedaulatan menyiratkan bahwa tidak ada kesepakatan tanpa persetujuan yang bebas. "Negara Ketiga" berarti suatu Negara yang bukan merupakan pihak pada suatu perjanjian internasional tertentu (Pasal 2 (1) (h)).


Penerimaan kewajiban oleh suatu Negara ketiga harus dinyatakan baik tegas dan tertulis (Pasal 35), untuk menghindari keraguan tingkat kewajiban yang telah ditetapkan sebelumnya oleh orang lain.


Sebuah persetujuan yang seperti telah dinyatakan sedemikian rupa dapat memenuhi syarat sebagai kuasi-kontrak. Oleh karena itu, hanya logis bahwa kewajiban hanya dapat dicabut atau diubah dengan persetujuan dari semua pihak dalam perjanjian serta Negara ketiga, kecuali jika ditetapkan bahwa mereka telah dinyatakan setuju (Pasal 37 (1)).


Meskipun suatu Negara ketiga tidak dapat diberikan hak tanpa persetujuan, persetujuan adalah tetap dianggap (Pasal 36 (1)). Suatu Negara ketiga yang melaksanakan hak tersebut berada di bawah kewajiban untuk memenuhi kondisi untuk pelaksanaannya diatur dalam perjanjian atau dibentuk sesuai dengan perjanjian (Pasal 36 (2)). Hak yang diberikan kepada suatu Negara ketiga dapat dicabut oleh Negara Pihak kecuali ditetapkan bahwa hak tersebut dimaksudkan untuk tidak dapat dibatalkan atau tunduk pada modifikasi tanpa persetujuan dari Negara ketiga. Dalam kasus seperti itu, beban pembuktian terletak pada pihak ketiga manfaat dari hak atau hak.


Prinsip yang menurut perjanjian tidak dapat menciptakan hak atau kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan diekspresikan dalam bahasa Latin oleh frase "pacta tertiis nec nec nocent prosunt". Aturan ini juga berlaku ketika dua atau lebih pihak dari konvensi multilateral yang menyimpulkan kesepakatan untuk mengubah konvensi hanya dalam hubungan satu sama lain, karena mereka dengan ini mengecualikan Amerika ketiga dari kesepakatan mereka meskipun fakta bahwa yang terakhir adalah pihak-pihak perjanjian asli ( lihat Pasal 41).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar