Senin, 21 Mei 2012

Karakter Bangsa


REKAYASA PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
16 July, 2010 - 08:58 by lena

Karakter  tidak otomatis berkembang pada diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial  ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak. Sekolah /lembaga pendidikan secara mandiri tidak akan mampu mengembangkan karakter di kalangan peserta didik. Rekayasa sosial untuk pembangunan karakter perlu direncanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat mungkin. Proses ini berlangsung amat panjang, bahkan berlangsung sepanjang massa khususnya lewat pendidikan dan pendidIkan ilmu-ilmu sosial atau IPS memiliki peran sentral dalam pembangunan karakter bangsa.
Demikian disampaikan guru besar UNY, Prof. Dr. Zamroni dalam seminar internasional “The Role of Social Studies in The Contex of Nations and Character Buiilding”, yang diselenggarakan  Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia  (HISPISI) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu sosial (FIS) Universitas Negeri Makasar dan HISPISI Daerah Sulawesi Selatan. Seminar yang berlangsung  di Hotel Clarion , 13-14 Juli 2010, dihadiri pengurus pusat HISPISI,  dosen, guru, mahasiswa dengan nara sumber lain Prof. Udin S.Winataputra,MA, Prof.Tsuchiya Takeshi , Prof.Dr. Arismunandar,MPd dan para pakar pendidikan karakter & integritas publik pada Paralel Session antara lain  dari  UNY,  Dr. Muhsinatun S.Masruri, dan Suhadi Purwantara, MSi. Hadir juga pada kesempatan tsb  Dekan FISE UNY, Pembantu Dekan 2, Kepala Kantor Humas ,Promosi yang juga pengurus pusat HISPISI sebagai peserta.
Lebih jauh Zamroni mengatakan  karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat yang ada, seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran, kebanggaan, keterbukaan, kerja keras, dan semangat untuk berprestasi. Karakter bangsa akan muncul sebagai keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai karakteristik moral di atas. Oleh karena itu, suatu karakter bangsa mesti dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tradisi yang dimiliki bangsa itu sendiri dipadukan dengan konteks bangsa yang ada seperti, lembaga-lembaga, kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta agama yang dinut mayoritas warga bangsa tersebut. Karakter bangsa juga sangat erat kaitannya dengan sistem politik yang ada. Bahkan suatu konstitusi suatu bangsa merupakan cerminan karakter bangsa yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa karakter bangsa merupakan suatu basis untuk melahirkan kesadaran nasional dan jiwa patriotisme bangsa yang merupakan fondasi bagi terwujudnya bagsa yang mandiri, merdeka dan berdaulat.
Zamroni menegaskan dalam kaitan membangun jati diri dan identitas diri sebagai suatu bangsa atau karakter dalam hal ini, maka semua komponen bangsa harus mengambil peran, antara lain lewat pendidikan dalam arti luas yang dapat diperankan oleh keluarga, media massa, pemerintah dan lembaga sistem persekolahan atau pendidikan formal.
Terkait dengan  pendidika,  berbagai perubahan perlu dilakukan antara lain: dunia pendidikan harus mulai menekankan pada kultur sekolah sehingga memungkinkan warga sekolah untuk bekerja terbaik guna prestasi terbaik dan penilaian prestasi  tidak hanya terbatas dalam aspek intelektual yang ditunjukkan dalam nilai ujian, tetapi juga aspek karakter.  Reorientasi pembelajaran juga diperlukan agar pembelajaran ilmu-ilmu sosial  dapat memberikan kontribusi maksimal dalam proses mempercepat pembangunan karakter bangsa. Inti dari tujuan pembelajaran adalah mengembangkan “knowing”  peserta didik, bukan nya “thingking”. Untuk itu, tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan ilmu-ilmu sosial  perlu ditinjaun ulang dan direvisi, tegasnya.
Sekjen DPP HISPISI yang juga Dekan FISE UNY, Sardiman AM,MPd menjelaskan  seminar ini merupakan program kerja HISPISI  Thun 2010. Setelah Makasar, seminar Internasional berikutnya  akan dilanjutkan di Malaka Malaysia dan Jepang. Terkait dengan pendidikan karakter, hasil seminar ini akan ditindaklanjuti  oleh HISPISI sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan karakter bangsa. (lensa)

















Roscoe Pound dalam sebuah pernyataannya menyatakan bahwa fungsi hukum adalah social engineering atau rekayasa sosial. Dalam pemikirannya ia menyatakan bahwa putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan mampu merubah perilaku manusia. Pendapat Roscoe Pound tersebut benar ketika ia memandang hukum sebagai sebuah putusan-putusan hakim dalam sistem hukum anglo saxon atau common law.
Pernyataan Roscoe Pound tersebut pada awal orde baru dibawa ke Indonesia oleh pakar-pakar hukum saat itu dengan pemikiran bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial. Dalam sistem hukum sipil (civil law system) yang diterapkan di Indonesia, yang menganut model hukum Eropa, hukum adalah sebuah aturan Undang-undang yang notabene merupakan produk kekuasaan penguasa. Dalam konteks ini, maka hukum diterapkan oleh penguasa yang memiliki kewenangan membentuk hukum, dan demi hukum siapapun harus tunduk terhadap aturan hukum tersebut.
Pada kondisi yang demikian maka hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya. Ketika kekuasaan  berada di tangan orang-orang yang zalim maka hukum akan begitu ditakuti. Penguasa yang zalim akan menggunakan hukum untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya nyaris tanpa kendali, hal ini terjadi di banyak negara berkembang yang mengadopsi teori Roscoe Pound tersebut. Ketika fenomena Reformasi menyeruak di Indonesia, maka teori ini dijadikan sebagai salah satu kesalahan besar bidang hukum yang telah melahirkan penguasa yang out of control. Pertanyaan sederhana adalah apakah Roscoe Pound begitu gegabah mengeluarkan teori yang melahirkan penguasa yang sangat otoriter?
Dalam hal ini rupanya telah terjadi kesalahpahaman atas konsep berfikir Roscoe Pound tersebut. Teori Roscoe Pound yang sangat fenomenal tersebut lahir dari sebuah sistem yang berbeda dengan sistem yang kita anut. Ia lahir dari sebuah sistem hukum common law yang menganggap bahwa hukum adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim (Hukumnya Hakim). Roscoe Pound lahir dalam dunia hukum yang menganggap bahwa hukum itu dibentuk oleh kekuasaan hakim, bukan penguasa eksekutif!
Hukum dalam sistem common law, dibentuk oleh hakim, para pihak yang mengajukan masalah kepada pengadilan memohon keadilan agar diputuskan mana yang benar dan adil oleh para hakim. Hakim kemudian akan memeriksa kasus tersebut dan kemudian akan memutuskan apa yang seharusnya dipatuhi oleh para pihak. Hakim membentuk hukum berdasarkan putusan hakim yang diharapkan akan merubah perilaku para pihak yang awalnya tidak mengetahui yang benar menurut hukum, dan kemudian akan bertindak serta berperilaku menurut hukum. Sehingga hukum mendidik ia untuk faham akan hukum.
Secara langsung dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan tersebut (law) diharapkan telah mampu merekayasa atau merubah perilaku (engineering) masyarakat. Dalam hal ini tidak ada unsur power penguasa untuk menekan kehendaknya terhadap rakyat, melainkan hakim yang faham hukum mendidik masyarakat bagaimana berperilaku yang sepatutnya. Hakim mendidik para pihak untuk berperilaku yang awalnya diluar hukum menjadi manusia yang sadar hukum di tengah masyarakat.
Konsep pemikiran Roscoe Pound ini menjadi salah kaprah ketika dimasukkan dalam siistem hukum yang berbeda yaitu sistem civil law yang memandang hukum yang utama adalah putusan penguasa dan bukan putusan hakim dalam sidang pengadilan! Ketika diterapkan dalam sistem yang berbeda ternyata menghasilkan makna yang sangat berbeda dari makna penerapan hukum yang dimaksud oleh Roscoe Pound! Roscoe Pound tentunya tidak pernah membayangkan bahwa teorinya akan melahirkan penguasa yang absolut, karena ia hanya berfikir bahwa hukum itu hakim bukan penguasa.
Secara sederhana dapat saya ilustrasikan seperti halnya orang yang hendak meletakkan ikan di kolam yang berbeda, ikan yang hidup di "kolam" common law ketika letakkan di "kolam" civil law yang tentu saja air, suhu, serta cuacanya sama sekali berbeda. Bukan ikan dan kolam itu yang salah tetapi orqang yang meletakkan ikan itu yang salah.


Terakhir diubah tanggal 24 Desember 2008 03:45:46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar