Senin, 21 Mei 2012

Hubungan Hukum dengan Kekuasaan


HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN
Sistem Hukum Indonesia

Pembukaan UUD 1945 yang merupakan dasar dan tujuan Negara sebagaimana diletakkan oleh pendiri Republik Indonesia, mengikat sebagai landasan kebijakan Negara, baik dibidang ekonomi, sosial, politik dan hukum. Oleh karenanya politik hukum yang akan dijalankan bertitik tolak pada pandangan hidup, cita-negara dan cita hukum yang termuat dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana diamantkan dalam Pasal 1 ayat (3) batang tubung UUD 1945 , dimana hukum merupakan perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi.
Di Indonesia Hukum kita ditelurkan oleh dua lembaga yakni legislatif dan eksekutif dapat dilihat jelas pada hierarkis perundangan di indonesia dengan urutan berdasarkan Pasal UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, antara lain :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
            Undang-undang dan perda dibuat oleh lembaga legislatif, perpu, peraturan pemerintah dan perpres merupakan produk hukum dari eksekutif. Produk-produk tersebut merupakan produk dari pemegang kekuasaan di indonesia. Produk hukum tersebut dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi dan biasanya ditaati. Dalam membuat peraturan perundang-undangan harus melewati tahap mendengarkan pendapat dari masyarakat. Jika hal ini dijalankan maka dapat dikatakan bahwa Undang-undang yang lahir merupakan keinginan individu-individu dalam masyarakat atau dengan kata lain berasal dari tekanan dalam diri tiap individu .
Permulaan munculnya Negara Hukum ketika pada zaman tokoh dari filsufmYunani dan Kristiani memunculkankan bahwa tujuan negara hukum adalah untuk mewujudkan kepentingan umum, hukum merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan tersebut .
Negara Hukum adalah suatu wilayah berdaulat yang penyelengaraan kekuasaan pemerintahannya berdasarkan hukum artinya kekuasaan negara itu didasarkan atas hukum bukan atas kekuasaan belaka atau dapat juga dikatakan pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham konstitusionalisme. Menurut doktrin Friederich Julius Stahl Negara Hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtstaat (Eropa Kontinental) dan Rule of Law (Anglo Saxon), dengan Ciri-ciri Rechtstaat menurutnya antara lain :

-Hak Asasi manusia;
-Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM;
-Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
-Peradilan tata usaha negara;

Pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan yang umumnya kita kenal, alhasil dari pengembangan yang dilakukan oleh Montesquieu, yaitu :
-Kekuasaan Legislatif yang membuat hukum;
-Kekuasaan Eksekustif yang menjalankan hukum;
-Kekuasaan Yudikatif yang menafsirkan hukum;
Pembagian kewenangan tersebut merupakan alternatif untuk membatasi kekuasaan penguasa, dengan membatasi kekuasaan dengan kekuasaan lain, maksudnya adalah untuk mencegah agar para penguasa jangan sampai menyalahgunakan kekuasaanya atau bertindak sewenang-wenang dan memperdalam cengkeraman totaliternya terhadap rakyat. Kebebasan politik hanya ada di negara-negara dimana kekuasaan negara bersama-sama dengan fungsi yang berhubungan tidak berada pada orang yang sama atau badan yang sama. apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif menyatu dalam satu organ tangan atau badan, tidak ada kebebasan; akan timbul keprihatinan, karena raja atau majelis akan melaksanakan hukum-hukum yang zalim, melaksanakan dengan cara yang zalim. Sebagaimana dengan Doktrin Lord Acton yang menyatakan bahwa :
“ Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya”.
Jadi ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) bertujuan untuk membatasi kekuasaan badan-badan pejabat penyelenggara negara dalam batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan dan bukan pemisahan kekuasaan.

Tidak semua orang dapat memaksa atau memberikan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah penguasa dalam hal ini pemerintah, karena penegakan hukum dalam suatu pelanggaran merupakan monopoli penguasa. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum. Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. Sebaliknya hukum itu pada hakikatnya adalah kekuasaan.
Hukum itu mengatur, membatasi ruang gerak dan memaksa. Hukum adalah kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mengusahakan terciptanya ketertiban. Akan tetapi karena adanya penguasa yang menyalahgunakan hukum serta menciptakan hukum semata-mata untuk kepentingannya sendiri, maka muncullah istilah rule of law. Rule of law artinya pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur, menguasai dan memaksa adalah hukum. Inilah yang dinamakan supremasi hukum.
Dalam pengaturan tersebut akan memunculkan dua masalah. Pertama, terjadi pembungkaman hak masyarakat untuk turut serta menyampaikan usulan, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan untuk menolak atau menerima rencana tersebut; Kedua, ketika sebuah kebijakan tidak didasarkan pada partisipasi publik, berpotensi besar terjadinya pelanggaran hak publik di kemudian hari yaitu diabaikannya hak-hak masyarakat yang melekat pada wilayah yang bersangkutan, padahal masyarakat setempatlah yang mengetahui dan memahami kondisi wilayah. penyampaian usulan yang hanya melibatkan pemerintah ini merupakan sebuah bentuk perlakuan berbeda antar warga negara (unequal treatment) dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memajukan dirinya dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya yang bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Intervensi hukum ke dalam sistem politik. Karena salah satu ciri negara demokratis adalah ketika dapat berdiri di atas pondasi hukum dan ditegakkan melalui penegakkan hukum (Cornelis Lay, 40, 2006). Adanya rapat-rapat pemilihan di lingkup “negara” terkecil sekalipun seperti keluarga atau rapat RT, mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah diperkenalkan dari awal tentang persoalan kekuasaan dan relasi kekuasaan satu sama lain, Oleh karena, politik adalah persoalan relasi kuasa dan salah satu persoalan kunci dalam perpolitikan adalah relasi kuasa untuk mengelola kepentingan kolektif (Purwo Santoso, 2010). Dan ketika relasi kuasa yang menjadi pondasi dari bekerjanya sistem politik, diatur, dibatasi, bahkan diintervensi oleh nalar yuridis tersebut, maka yang terjadi adalah pencurian besar-besaran dari hak-hak sipil seseorang untuk berpartisipasi dalam ranah politik sumber kekuasaan menjadi 2 pengelompokkan umum, yaitu :

1.                  Kekuasaan formal selalu didasarkan pada posisi pada posisi individu didasarkan pada posisi individu dalam organisasi;
2. Kekuasaan personal Kekuasaan yang berasal dari karakteristik unik individu – individu.

Persoalan intervensi yang membuat mengapa persoalan kekuasaan di Indonesia seolah tidak akan pernah selesai. Bukan persoalan kekuasaan itu sendiri yang salah sehingga dapat menghasilkan absolutisme korupsi kekuasaan (Lord Acton). Tapi, kesadaran tentang relasi dan nafsu untuk berkuasa dalam politik dengan menjunjung tinggi etika sosial (social ethics) dalam politik itulah yang mesti dilahirkan dan dirawat. Cara berpikir yuridis mengandaikan bahwa setiap persoalan mesti diatur dalam mekanisme hukum yang memiliki kompensasi reward and punishment di dalamnya serta mesti tertuang dalam ketetapan legal-formal dalam konstitusional modern.
Padahal, jika berbicara dalam konteks relasi kekuasaan, ketiga cabang kekuasaan tersebut telah saling bersentuhan dan saling mengendalikan satu dengan yang lainya sesuai dengan prinsip cheks and balances.Hukum dan kekuasaan pada prinsipnya saling mengikat. Hukum digunakan oleh penguasa untuk menegakkan keadilan semesta yang seharusnya tidak memandang jabatan, kedudukan, atau kekayaan seseorang. Posisi hukum memang seharusnya di atas penguasa. Sementara itu, jika tidak ada pencipta hukum yang kemudian disamakan dengan penguasa, hukum juga tidak pernah bisa ditegakkan. Badan legislatif tetap saja menjadikan dirinya “penguasa”.
 Di sinilah, letak “kecacatan” hukum jika dibenturkan dengan kekuasaan. Susah-susah hukum dibuat. Namun, akhirnya, penguasa memanfaatkan hukum tersebut demi kepentingan Partai yang mayoritas dan kepentingan pribadinya. Padahal, biasanya semua penguasa atau penegak hukum akan berkoar bahwa semua orang harus mematuhi hukum. Hukum hanya bisa paksakan kepada masyarakat kecil, namun menjadi lumpuh saat berhadapan dengan kekuasaan dan uang. Sehingga dalam beberapa aspek, demokrasi dindonesia mendapat banyak pujian dari negara luar yang mengatakan Indonesia adalah negara yang paling demokratis, namun jika dilihat dari penegakan hukumnya masih sangat jauh dari harapan.
Hukum dan kekuasaan saling terkait dan dapat dipengaruhi oleh bebrbagai macam faktor, adapun pokok-pokok hubungan kekuasaan dengan Hukum sebagai berikut:
1. Kekuasaan tanpa hukum akan menjadi dictator;
Apabila hukum ditiadakan, maka penguasa akan menjalankan kekuasaannya sesuai keinginan sendiri, tanpa ada batasan sekalipun ada dan banyak masyarakat yang mengalami kerugian atas tindakan penguasa akibat kekuasaannya yang tidak ada batasannya, sehingga apabila ini terjadi, maka suatu Negara atau pemerintahan dapat mengakibatkan kehancuran, baik dari segi ekonomi, social budaya dan politik;
2. Hukum adalah sebagai pengendali kekuasaan
Dengan adanya hukum maka kekuasaan dapat terkendali, dimana penguasa tidak lagi sewenang-wenang untuk menjalankan kekuasaamya, karena ada hukum yang mengatur segala tindak tanduk dalam melaksanakan kekuasaan yang dimiliki penguasa;
3. Hukum sebagai alat kontrol kekuasaan
Dapat dijelaskan dengan adanya hukum, maka kekuasaan akan terkendali, Oleh karena adanya yang mengendalikan kekuasaan, maka segala sesuatu tindakan penguasa, telah dikontrol oleh hukum itu sendiri, sehingga tidak akan adalagi yang berjalan dengan sendirinya tanpa diatur oleh hukum. Kekuasaan itu harus terkontrol, agar tidak terjadi dictator, tentu yang mengontrol kekuasaan adalah hukum, dan penguasa dalam menjalankan kekuasaannya sesuai aturan hukum yang berlaku dan tidak terjadi kesewenang-wenangan;
4. Kekuasaan haaya dapat dijalankan berdasarkan hukum
Setiap penguasa menjalankan kekuasaannya haruslah dengan hukum yang telah ditetapkan, karena kekuasaan dan hukum haruslah sejalan dan saling melengkapi agar apa yang dilakukan penguasa atas kekuasaannya sesuai kehendak berbangsa dan bernegara;
5.Hukum adalah sebagai panglima yang dapat mengatur segala bentuk kekuasaan
Sebagai panglima artinya bahwa hukumlah diatas segala-galanya yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara
6.Kekuasaan tidak dapat dijalankan tanpa adanya hukum
Kekuasaan itu baru dapat berjalan apabila ada hukum yang mengatumya, apabila tidak diatur oleh hukum, maka roda pemerintahan menjadi timpang, karena hanya berdasarkan keinginan semata.
Dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 4 menyatakan :”Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah berdasarkan UUD” yang memimpin semua program kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakyat, berbangsa dan bernegara dalam segala aspek. Diposkan oleh http//:Sosiologi Hukum.blog.spon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar