Senin, 21 Mei 2012

Pelanggaran HAM


Penerapan Hukuman Mati adalah Pelanggaran HAM dan Konstitusi
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan kembali diterapkannya hukuman mati. Pada hari Minggu dini hari, 20 Maret 2005, Astini menjalani eksekusi hukuman mati di Jawa Timur. Dia menjadi   orang keempat yang dieksekusi mati dalam kurun 1 tahun terakhir, tiga lainnya dieksekusi di Sumatra Utara untuk kasus narkoba. Sementara di kedepannya masih ada 53 orang terpidana mati –sebagian besar untuk kasus pidana narkoba dan terorisme- yang belum dieksekusi, bila mengacu pada data dari Jaksa Agung RI.
Sebagai salah satu organisasi HAM di Indonesia, Kontras menentang keras pelaksanaan hukuman mati (death penalty/capital punishment). Ada 2 alasan dasar mengapa KontraS menolak hukuman mati.   Pertama , atas dasar prinsip hukum HAM   yang mengutamakan nilai kemanusian di atas hukum positif apa pun. Kedua , atas dasar realitas politik hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup.
Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian   HAM internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:
1. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi   dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM   dan beberapa waktu lalu Presiden SBY telah berkomitmen akan menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.
2. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998.
3. Penerapan   hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional , mencatat hingga 1 Oktober 2004 lalu, terdapat 118 negara –dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati   -baik melalui mekanisme hukum atau politik- di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional.

Atas dasar pertimbangan   politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena:
1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa   memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah. Bahkan menurut riset Amnesty Internasional, di Amerika Serikat (sejak 1973) sekalipun telah terjadi kesalahan sistem judisial terhadap 116 orang terpidana mati.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal   menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya.   Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan   dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.    
4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui   sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan Astini kemarin ini.
Berdasarkan uraian diatas tersebut KontraS mendesak:
  1. Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden.
  2. Secara strategis   jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan   hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia, mulai dari KUHP hingga UU yang relevan.
  3. Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut   kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II).
  4. Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.  
 
Jakarta, 23 Maret 2005
Badan Pekerja KontraS
Edwin Partogi
Kepala Bidang Operasional

1 komentar: