Senin, 21 Mei 2012

Penyertaan


PENYERTAAN DALAM GABUNGAN TINDAK PIDANA
Sistem Pembebanan Tanggung Jawab Pada Penyertaan
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta / terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun pisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dan mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap peserta yang lain.
Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu istilah terwujudnya tindak pidana.
Sebagaimana dalam percobaan yang mengenal dua ajaran subyektif dan obyektif, demikian juga dalam penyertaan ada 2 ajaran, subyektif dan obyektif , menurut ajaran subyektif yang bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah apabila ia berkhendak, mempunyai tujuan dan kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana. Siapa yang berkehendak yang paling kuat dan atau mempunyai kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membeban tanggung jawab pidana yang lebih besar.
Sebaliknya menurut ajaran obyektif, yang menitik beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksdukan, yang menentukan sebarapa berat tanggung jawab yang dibebannya terhadap terjadinya tindak pidana.
Apakah syaratnya seseorang dapat disebut sebagai ikut terlibat dan ikut bertanggung jawab dengan peserta lainnya di dalam mewujudkan tindak pidana :
1. Dari Sudut Subyektif , ada 2 syaratnya, ialah:
a. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;
b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya, dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta lainnya.
2. Dari Sudut Obyektif
Bahwa perbuatan orang itu ada hubungan debgan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara obyektif ada perannya / pengaruh positif bauk besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana. Menyangkut tentang sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan.
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 2 sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana, ialah:
1. pertama, yang menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggung jawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun yang ada dalam sikap batinnya.
2. kedua, yang mmerupakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama terlibat kedalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat-ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.
Tetapi juga menurut KUHP bagi orang yang terlibat sebagai pembuat pembantu, baik pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan maupun pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan (56) beban tanggung jawabnya dibedakan dengan orang-orang yang masuk kelompok pertama (mededader) pada pasal 55, yakni beban tanggung jawab pelaku pembantu ini lebih ringan pada daripada tanggung jawab pelaku mededader tersebut, dimana menurut pasal 57 atay (1) ditetapkan bahwa “ dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”.
B. Bentuk-bentuk Penyertaan
Bnetuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. . pasal 55 mengenai golongan yang disebut dengan mededader (disebut pada peserta, atau para pembuat), dan pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
b. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

1. Mereka yang Melakukan (pembuat pelaksana: pleger)
Pada kenyataannya untuk menentukan seorang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sukar. Kreteriannya cukup jelas; ialah secara umum ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materiil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulakan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil, pembuat pelaksanaannya ialah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2. Mereka yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh: Doen Pleger)
Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh lakukan (Doen Pleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “yang menyuruh melakukan ialah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada keerasan.
Dalam keterangan MvT tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran obyektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang teryata subyektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (orang yang disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggung jawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif, sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat obyektif.
3. Mereka yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta: Medepleger)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Keterangan ini belum memberikan penjelasan yang tuntas. Oleh karena itu menimbulkan perbedaan pandangan.
Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) itu ialah bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Seperti dua orang A dan B mencuri sebuah televisi disebuah kediaman, dimana mereka berdua sama-sama masuk melalui jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula mengangkat obyek televisi tersebut ke dalam mobil yang telah disediakan dipinggir jalan.
Pada contoh ini perbutan A dan Perbuatan B sama-sama (bersama) mengangkat televisi, pencurian terjadi karena perbuatan yang sama, dan tidak dapat mengangkat televisi oleh hanya satu orang. Jelas perbuatan mereka telah sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana. Sama seperti perbuatan seorang pembuat (dader). Bedanya, ialah seorang dader dia sebagai pembuat tunggal.
Sedangkan pandangan luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan, kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksana.
4. Orang yang Sengaja Menganjurkan (pembuat Penganjur: uitlokker)
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intellectualis), seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materiil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat, ialah “yang menyuruh melakukan” (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan inidirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur obyektif yang sekaligus unsur subyektif. Rumusan itu selengkapnya ialah;”mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.
5. Pembantuan
Mengenai hal pambantuan diatur dalam tiga pasal, ialah pasal 56, 57 dan 60. pasal 56 merumuskan tentang unsur obyektif dan unsur subyektif pembantuan serta macamnya bentuk pembantuan. Sedangkan pasal 57 merumuskan tentang batas luasnya pertanggungan jawab bagi pembuat. Pasal 60 mengenai penegasan pertanggungan jawab pembantuan itu hanyalah pada pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggalaran.
C. Penyertaan Mutlak
Penyertaan mutlak itu benar-benar suatu tindak pidana, tindak pidana yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang pembuat. Dapat dipikirkan oleh orang yang normal, bahwa untuk mewujudkan tindak pidana itu diperlukan lebih dari satu orang pembuat. Jadi menurut praktik hukum jelas bahwa dua orang atau lebih dengan bersekutu itu, salah satunya atau keduanya haruslah memenuhi syarat sebagai seorang pembuat peserta. Jika salah satu saja berkualitas sebagai pembuat peserta tentulah yang satu adalah sebagai pembuat pelaksana. Sedangkan bila kedua-duanya berkualitas sebagai pembuat peserta yang sama, maka kedua-dua orang itu haruslah perbuatannya sama-sama memenuhi semua unsur tindak pidana. Artinya kedua-duanya telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua syarat dari pencurian itu, karena itu dapat juga disebut kedua-duanya adalah pembuat pelaksana, karena kedua-duanya telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang benar-benar sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar