Senin, 21 Mei 2012

Prospek dan Perspektif Hukum Kekeluargaan dan Waris Islam


Prospek dan Perspektif Hukum Kekeluargaan dan Waris Islam

Hukum kekeluargaan Indonesia menuju kearah parental, hal ini terbukti dari yurisprodensi. Hukum waris nasional berdasarkan Pancasila mendudukkan dan menghormati hukum waris ajaran agama. Hukum kekeluargaan nasional Indonesia cenderung menjurus menciptakan kekeluargaan parental (bilateral). Sistem perkawinan nasional ditentukan oleh hukum agama, sistem perkawinan menentukan system kekeluargaan. Bentuk kekeluargaan dan pengertian keluarga menentukan system kewarisan.

Dapat dilihat kecenderungan dalam hal kewarisan, bahwa hukum kewarisan sesuai dengan cita-cita moral, cita-cita batin dan cita-cita hukum yang di inginkan oleh manusia pemeluk agama akan menjadi keinginan dan kesadaran batin secara nasional. Pada masa mendatang kesadaran akan hak-hak individu dan hak azasi manusia akan kuat. Oleh karena itu dapat di perkirakan akan makin tumbuhnya individualisme dalam masyarakat Indonesia. Gerakan emansipasi dan penuntutan akan hak kaum wanita juga telah tumbuh dan meningkat. Oleh karena itu pada masyarakat modern ada kecenderungan makin besarnya tuntutan kepada suami untuk bertanggung jawab memimpin keluarga yang terdiri dari isteri dan anak-anak.

Dengan gambaran tersebut, dapat diprediksi bahwa prospek sistem kekeluargaan manusia modern di masa mendatang adalah sistem kekeluargaan bilateral individual. Selanjutnya dapat diprediksi, bahwa sistem kewarisan mayorat dan sistem kewarisan kolektif tidak akan berkembang dalam masyarakat Indonesia di masa mendatang seiring dengan kemajuan dan tuntutan kebutuhan kehidupan. Karena hukum perkawinan sudah menurut agama, maka hukum kewarisan agama berlaku bagi pemeluknya. Bagi hukum kewarisan agama yang tidak menjangkau ketentuan hukum waris, dapat diberlakukan hukum adat. Maka terlihat gambaran bahwa, hokum waris Islam bagi yang Bergama Islam dan hukum waris adat bagi yang beragama selain Islam.Cita-cita inilah yang ingin dituju para praktisi hukum Islam, agar hukum kewarisan
termasuk dapat terbentuk dalam suatu Undang-undang Hukum terapan Peradilan Agama.Beberapa Trobosan pembaharuan dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia kini dan dimasa mendatang :

1. Trobosan Pembaharuan Anak Perempuan mendinding Saudara Kandung.
Salah satu trobosan pembaharuan hukum waris, yang telah menjadi Yurisprodensi,yang ketika itu menghebohkan dikalangan ahli Hukum Islam di Indonesia, Yaitu dalam kasus kewarisan antara Hj.Hikmah alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah dkk melawan H. Nur Said bin amaq Mukminah dkk, yang terjadi di Mataram, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Putusan PA. Mataram No. 85/Pdt.G/92/PA.MTR, Putusan PTA Mataram No.19/Pdt.G/1993/PTA.MTR dan Putusan Mahkamah Agung RI
No.86K/AG/19945 tgl 28 April 1995, Ringkasan kasus posisinya bahwa di Dusun Malimbo, Desa Pemenang Barat Kec. Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, pernah hidup
dua orang laki-laki bersaudara kandung, yakni Amaq Itrawan dan Amaq Nawiyah, bahwa amaq Itrawan telah meninggal dunia pada th 1930 dengan meninggalkan ahli waris dan ahli waris Pengganti yaitu para Penggugat.
Begitu juga Amaq Nawiyah telah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak Perempuan bernama Le Putrahimah binti Amaq Nawiyah alias Hj.Hikmah. Bahwa amaq Itrawan (saudara Amaq Nawiyah) sewaktu masih hidup pernah menguasai harta Peninggalan amaq Nawiyah karena pada saat itu Le Putrahimah masih kecil, dan setelah dewasa seiring telah meninggalnya Amaq Itrawan seluruh peninggalan Amaq Nawiyah kembali di kusai Le Putrahimah, sedangkan H. Nur Said dkk yang merasa sebagai cucu dari Amaq Itrawan (saudara kandung amag Nawiyah) merasa berhak atas harta warisan Amaq Nawiyah, karena Saudara laki-laki mendapat bagian ashobah jika ahli waris hanya terdiri dari seorang anak Perempuan. Inti dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI, dengan mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang sahabat Rasulullah, seperti di kemukakan oleh Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “walad” dalam ayat tersebut diatas mencakup anak laki-laki dan anak perempuan, pendapat ini sejalan dengan madzab Zahiri.

Alasan MA antara lain bahwa kata “Walad” yang dimaksud dalam Al-Qur’an bukan saja untuk anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Misalnya dalam ayat 11 surat an-Nisa’ Allah berfirman dengan memakai kata”awlad”(kata jama’ dari kata walad) yang artinya:”Allah wajibkan kamu tentang “awlad” (anak-anak kamu), buat seorang (anak) laki-laki (adalah) seperti bahagian dua anak perempuan...” Kata “awlad” dalam ayat tersebut mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sejalan dengan pengertian tersebut di atas, menurut MA juga mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sehingga baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing mendinding saudara kandung si pewaris dari mendapat harta peninggalan. Kesimpulan dari kasus diatas adalah bahwa keberadaan anak Perempuan si pewaris yaitu Le Putrahimah alias Hj.Hikmah menjadi penghalang bagi Amaq Itrawan (saudara kandung pewaris) dari mendapat harta warisan. Selanjutnya diikuti Putusan Mahkamah Agung dalam kasus serupa seperti kasus di PA Pekalongan No.820/G/1991 , Putusan PTA Semarang No.69/G/1991 dan Putusan MA REG.No. 184 K/AG/1995,6 antara Wariyem Binti H.Asrori melawan H.Mundiyah Binti H.Abas dkk, inti pertimbangan Mahkamah Agung,
Bahwa dengan adanya anak perempuan dari pewaris (tergugat asal I) maka saudarasaudara kandung pewaris (penggugat asal) tertutup (terhijab) oleh tergugat asal. Oleh karenanya penggugat-penggugat asal tidak berhak atas harta warisan. Kasus serupa juga terjadi di PA Cibadak Wilayah PTA Bandung dan seterusnya.

Dari berbagai Yurisprodensi MA dalam kasus serupa, belum tentu menjamin putusan tersebut mengikat hakim di tingkat Pertama dan hakim Tingkat Banding untuk
mengikutinya karena sistem hukum yang diikuti di Indonesia bukan seperti Negara anglho saxon. Oleh karena itu diusulkan kelak di dalam draf RUU hukum terapan PA dimasukkan dalam pasal tersendiri tentang kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan di saat menjadi ahli waris bersama saudara atau paman, maka anak pewaris dapat mendinding saudara dan paman. Dengan demikian rujukan hakim jelas dan tidak bervarisi. Walaupun di pasal 174 ayat (2) dinyatakan “ Apabila ahli waris semua ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya, anak, ayah, ibu, janda atau duda”. Ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KHI tersebut, berbeda dengan
ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perdata Barat (BW), karena masih adanya persepsi dimana fikiran sebagian kalangan bahwa terobosan pembaharuan hukum waris Islam tersebut menyesuaikan ketentuan hukum waris perdata umum, sebagaima BW mengatur urutan tertib penerimaan warisan ahli waris dari pewaris berdasarkan golongan urutan menjadi empat Golongan.
1. Golongan ke I (pasal 852,852 a BW) terdiri dari anak dan keturunannya dan Suami atau
Istri.
2. Golongan ke II (pasal 854, 855, 856, 857 BW) terdiri dari ayah, Ibu, Saudara-saudara
dan keturunannya.
3. Golangan ke III ( pasal 853 BW) terdiri dari kakek, nenek dari pihak bapak dan
seterusnya keatas, dan Kakek, nenek dari pihak Ibu dan seterusnya keatas.
4. Golongan ke IV (858,861) terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis
menyamping sampai derajat keenam.
Keempat golongan tersebut diatas sekaligus merupakan urutan tertib penerimaannya, kalau golongan I ada, maka golongan II,III,dan IV tidak berhak mendapat bagian warisan. Kalau golongan I tidak ada, maka Golongan II tampil sebagai penerima warisan, sedangkan golongan ke III dan keempat tertutup golongan ke II. Golongan ke III akan mendapat bagian warisan kalau golongan I dan II tidak ada, demikian juga golongan ke IV akan mendapat bagian warisan kalau golongan I.II dan III tidak ada.
2. Terobosan Pembaharuan plaatvervulling (Ahli waris Pengganti) yang semula
hanya dari keturunan anak laki-laki menjadi semua keturunan ahli waris anak,
baik laki-laki maupun perempuan yang meninggal dunia terlebih dahulu dari
Pewaris.
Pada dasarnya didalam kitab Faraid Konfensional yang termuat dalam kitab fiqih, telah mengenal ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris yang di gantikan
kedudukannya oleh anak keturunannya. Namun istilah yang digunakan bukan ahli waris
mengganti. Apapun istilahnya menurut penulis hal itu pada hakekatnya juga dinamakan
ahli waris Pengganti, walaupun tidak penuh. Kenapa tidak penuh ?, karena yang dianggap berhak dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris Pengganti hanya keturunan dari anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari Pewaris dengan kata lain hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (Ibnul-Ibni dan Bintul-Ibni) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, itu pun bagiannya telah ditentukan secara pasti baik sebagai ashobah maupun dzawil-furudl. Contoh bintu ibnin jika menerima bersama seorang anak perempuan maka mendapat bagian 1/6. sedangkan cucu laki-laki maupun cucu perempuan dari keturunan anak perempuan (Ibnul-Binti dan Bintul-Binti) tidak dapat menerima bagian warisan dari kakek/neneknya karena termasuk dzawul Arham. Secara tegas dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama8 tentang Azas ahli waris langsung dan azas ahli waris Pengganti.
(1) Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174
KHI.
(2) Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan pada pasal 174 KHI.
3. Trobosan Pembaharuan terhadap pengembangan mal waris.

Kembali pengalaman menangani perkara waris pada saat penulis bertugas di PA
Selong Lombok Timur NTB, sayang lagi-lagi berkas/ Surat gugatan perkaranya tidak penulis simpan, karena pada waktu itu para pihak setelah dinasehati hakim dan di berikan pandangan akhirnya, sepakat untuk mencabut karena terjadi perdamaian, dan langsung di bagi sesuai kesepakatan, tanpa meminta putusan perdamaian dan memilih perkaranya untuk di Cabut.
Ringkas kasusnya, seorang laki-laki meninggal dunia pada sekitar tahun 1980 an
dengan meninggalkan seorang anak laki-laki, dan tiga anak perempuan. Dengan peninggalkan harta benda berupa dua bidang tanah sawah seluas : 2 Ha dan 64 ekor
kerbau. Ketika berperkara tahun 1999, sawah dan kerbau di kuasai oleh anak laki-laki
sendiri selama belasan tahun dan dilanjutkan oleh keturunannya (cucu) pewaris, sedangkan kala itu anak perempuan sesuai adat di Lombok hanya mendapat bagian dari hasil sawah. Ketika anak laki-laki masih hidup anak perempuan tidak berani meminta bagian secara faraid, karena sistem adat Lombok seluruh tanah warisan dikuasai oleh anak Laki-laki seperti adat warisan di Bali (sistem Mayorat) sedang anak perempuan hanya mendapat hasilnya saja.
Keadaan lain dalam hal warisan terkadang menerapkan sistem kewarisan kolektif jika meminta bagian warisan dirasa sesuatu yang pemali (tidak pantas) bagi orang perempuan, Dalam tenggang rentan waktu sekitar belasan tahun, saat harta peninggalan di kuasai oleh anak laki-laki harta tersebut berkembang yang semula tanah warisan 2 Ha menjadi 2,5 Ha begitu juga kerbau yang pada saat meninggalnya pewaris berjumlah 64 ekor, belum lagi yang telah dipotong atau dijual, ketika di ajukan gugatan ke Pengadilan Agama Selong, total kerbau masih berjumlah 99 ekor. Dan Setelah anak laki-laki meninggal pada tahun 1997 harta dikuasai oleh anak keturunan dari anak laki-laki (cucu). Oleh karena itu para anak perempuan berusaha meminta baik-baik bagian warisan tetapi oleh keponakannya selalu ditolak dengan alasan merupakan warisan bapaknya, akhirnya para anak perempuan yang tak lain bibinya menggugat harta warisan tersebut yang waktu itu di kuasai oleh Cucu dan sekaligus menggugat pengembangan dari harta peninggalan Pewaris, karena penggugat (bibinya) merasa dirugikan selama belasan tahun tanpa dapat menikmati harta peninggalan orang tuanya dan hanya mendapat bagian panen hasil sawah yang tidak sesuai dengan harapan.
Melalui proses mediasi negosiasi (upaya perdamaian saat itu), akhirnya di capai kesepakatan dengan konpensasi perhitungan biaya upah pemeliharaan sawah dan kerbau yang telah diperhitungkan. Sisa nya dibagi sesuai kesepakatan semua pihak dan perkaranya di Cabut dengan tanpa minta putusan perdamaian, karena para cucu dan anak perempuan langsung berbagi secara damai.
Fenomena Pembaharuan Mal waris tersebut, dapat terjadi di masa kini dan dimasa akan datang sebagai mana contoh ilustrasi sebagai berikut:
- pewaris pada saat masih hidup punya saham di beberapa perusahaan yang terus berkembang,katakanlah pada saat pewaris meninggal dunia, jika di hitung saham pewaris ketika itu 1 milyar, dan terus berkembang di kuasai salah seorang ahli waris. Jika terjadi sengketa apakah harta warisan yang 1 milyar saja ataukah termasuk pengembangannya?
- Seorang penulis buku, ternyata bukunya berulang dicetak padahal penulisnya telah
meninggal dunia, pada setiap terbitan sang pengarang selalu mendapat Royalty.
- Seorang musisi yang menghasilkan Album lagu-lagu yang laris terjual dan royalty nya
terus mengalir sepanjang masih laris dan dapat dinikmati salah seorang ahli warisnya.
- Pewaris yang ketika hidup mempunyai Deposito di Bank yang bunganya terus
berkembang.
- Seorang Prodoser mempunyai Studio rekaman yang hasilnya terus mengalir setiap kali menerima rekaman lagu dan rekaman lainnya.
- Dan yang paling sederhana seorang Pewaris meninggalkan Rumah kos-kosan dan
hasilnya hanya dikuasai salah seorang diantara ahli waris.
Pemikiran Pembaharuan mal waris sebagaimana penulis uraikan kiranya tidak menutup kemungkinan akan terjadi dan pasti terjadi seiring dengan kemajuan zaman. Oleh karena itu penulis mengusulkan kiranya pengembangan harta warisan mendapat perhatian sepanjang belum terbagi termasuk harta warisan pewaris yang menjadi hak para ahli waris yang berhak mendapat bagian.
4. Trobosan pembaharuan Ahli waris beda Agama dengan pewaris dengan
mendapatkan bagian harta peninggalan berdasarkan melalui wasiat wajibah.

Perbedaan regulasi dalam hukum Islam akibat perbedaan hukum atau keyakinan yang dianut Para pakar hukum Islam dan juga oleh ahli waris pun sangat beragam. Satu hal yang sangat prinsip seperti dalam hukum waris Islam, agama adalah salah satu syarat
paling penting agar harta kekayaan bisa dialihkan kepada ahli waris. Ini berarti agama yang dianut oleh pewaris semasa hidup berlaku sebagai kriteria utama untuk menentukan apakah ahli waris dapat menerima warisan atau tidak; jika ahli waris menganut agama yang sama dengan agama yang dianut pewaris semasa hidupnya, maka ahli waris dapat menerima harta warisan, jika tidak maka mereka tidak akan dapat apa-apa dari jalan hukum waris.
Walaupun persyaratan kesamaan agama yang dianut antara pewaris dengan ahli warisnya tidak berasal dari al-Qur’an melainkan dari hadits Nabi, namun aturan ini dipandang oleh para fuqoha’ sebagai salah satu syarat orang terpenting dalam memutuskan pewarisan harta warisan kepada ahli waris.10 Begitu pula dengan di Indonesia persoalan muncul ketika ahli waris menganut agama yang berbeda dari yang dianut oleh pewaris. Suatu trobosan baru seiring dengan perkembangan zaman dinegara yang berdasarkan Pancasila, sebagai bentuk toleransi antar sesama pemeluk agama, yaitu munculnya Azas Legaliter, maksudnya kerabat karena hubungan darah yang memeluk Agama selain Islam mendapat wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian, dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajad dengannya, hal ini berdasarkan Yurisprodensi.
Seiring dengan pembaruan ahli waris beda agama tersebut, penulis memberikan
komentar bahwa bisa saja ahli waris beda agama menerima harta peninggalan melalui
wasiat wajibah, tetapi ada syarat bahwa ketika pewaris masih hidup, hubungan kesehariananatara pewaris dengan ahli waris yang beda agama, hidup rukun damai dan saling toleran.Seperti memperhatikan kehidupan orang tuanya, merawatnya ketika sakit dan seterusnya. Sebaliknya jika semasa hidupnya pewaris anti pati dan tidak rela anaknya berbeda agama dengan orang tuanya (pewaris), maka jalan wasiat wajibah tidak sepatutnya diterapkan. Lebih lanjut dalam ipesude yang lain penulis akan usulkan beberapa hal kiranya sebagai masukan konsep Hukum terapan Peradilan Agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar