Senin, 21 Mei 2012

Fleksibilitas Hukum


FLEKSIBILITAS HUKUM
(Sikap Hukum Menghadapi Perkembangan Jaman)

Abstrak
Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk berbagai keperluan.  Tetapi hukum yang benar-benar otonom di masyarakat kita tentulah masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum yang terbentuk (undang-undang atau peraturan lainnya) seringkali lebih dominan (seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain) dibandingkan makna hukum yang berciri keadilan.  Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan berupa timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.

Kata kunci: social control, social engineering, fleksibilitas hukum

A.     Pendahuluan
Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari fakta atau realitas karena sosiologi hukum berparadigma fakta sosial.  Sosiologi hukum merupakan cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk mempelajari hukum tidak sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta sosial.  Berparadigma fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun tentang hukum.
Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan.  Sejak jaman Yunani dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat memperkirakan hal-hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum.  Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan.
Tesis yang hendak dikemukakan pada awal tulisan ini adalah apakah hukum itu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sebaliknya masyarakat berkembang karena adanya camput tangan hukum.  Jika diikuti jalan pikiran yang pertama maka yang akan dipakai sebagai dasar pijakan adalah ajaran von Savigny mengenai hukum tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat dan jika yang dipakai adalah jalan pikiran yang kedua maka pendekatannya lebih mengarah kepada apa yang telah dikemukakan oleh John Austin yang memandang hukum sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat.
Austin memisahkan hukum dan keadilan, ini adalah kekeliruan besar karena bagaimanapun inti hukum adalah keadilan.  Pemisahan ini tidak didasarkan pada pengertian baik atau buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the power of a superior).  Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa aliran hukum imperatif dari Austin tidak menghendaki hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakatnya sendiri.  Hukumnya adalah hukum penguasa yang superior untuk kepentingan penguasa itu sendiri.
Apa yang dikemukakan di atas hanyalah merupakan suatu gambaran adanya dua sisi yang berbeda dalam pandangan mengenai hukum yang berangkat dari dua sisi yang berbeda pula.  Dua pandangan ini menjadi dasar pijakan untuk melihat lebih jauh hukum yang berkembang di Indonesia dalam menghadapi perkembangan jaman
B.   Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional
Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi, dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul kemudian.  Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya dan mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga hukum tidak mempunyai otonomi.  Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet dan Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik dalam fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social engineering) yang bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak melakukan tindakan yang merugikan penjajah.
Pandangan hukum dari penjajah adalah pandangan hukum Austin yang imperatif.  Kehidupan hukum yang demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu sibuk dengan konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga hukum menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya. 
Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban dalam masyarakat.  Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat.  Ilmu hukum (science of jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak.  Semua hukum positif berasal dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign)  Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat penting.  Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan untuk biaya perang sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.
Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum.  Peran pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat mengenai perlakuan terhadap hukum adat.  Bangsa Indonesia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh hukum.  Sebagai negara pinggiran maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag.
Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat sosialis Indonesia.  Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan,  Perubahan dari negara pinggiran ke negara sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap kolonial yang tidak memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.
Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan industrialisasi.  Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin-mesin modern.  Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang tidak sedikit pada masyarakat.  Jika modernisasi dipandang sebagai transisi menuju masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali dilalaikan.  Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali melalui cara yang sama.  Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan peniruan, oleh difusi kebudayaan dan ideologi.
Sebenarnya hukum Indonesia perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai dengan diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan negara.  Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini.  Pemerintah terlalu sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya.  Justru yang dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang peninggalan kolonial tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia.  Sebagai parameternya adalah berapa undang-undang atau peraturan kolonial yang telah diganti.
C. Hukum yang fleksibel dan tuntutan perubahan
Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial.  Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan steril. 
Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum.  Istilah dualisme hukum ini memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum, antara norma dan fakta sebagai kenyataan.  Kontradiksi-kontradiksi ini sering membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara mendalam.  Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan akan menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja.
Castberg F. memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini, yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan realitas.  Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat psycho-psycsical.  Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein.  Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu sama lain.
Persepsi normatif dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sesuangguhnya.  Tetapi seperti dikatakan oleh Chamblis dan Seidman, kita sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan.  Janganlah peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan.  Apabila yang demikian terjadi maka sesungguhnya kita telah membuat mitos tentang hukum padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat.  Fakta sosial yang ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran spekulatif.  Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dalam mempelajari obyek studi.  Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi.  Fakta sosial dinyatakan sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide.  Barang sesuatu menjadi obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan.  Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum adalah barang sesuatu yang berbentuk material.  Sedangkan fakta sosial yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.
Kembali kepada permasalahan hukum di Indonesia dan ke arah mana hukum hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal yang agar perubahan dalam hukum betul-betul menyentuh masyarakat sebagai suatu kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan.  Untuk itu pertanyaan yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial yang sekarang terjadi dan apa sebab-sebab terjadinya perubahan itu.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang dari berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah krisis moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi politik maka titik tolaknya adalah kehidupan yang tidak demokratis dan melahirkan pemerintahan yang totaliter.  Berbagai perkembangan itu berpengaruh terhadap kehidupan hukum.  Jika pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian juga pada orde baru (sebagai alat kepentingan ekonomi).  Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas atau keluwesan untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan masyarakat.
Dalam masa reformasi, hukum seakan-akan mengalami chaos, artinya keberadaan hukum dipertanyakan dan disangsikan keefektifannya oleh masyarakat sehingga merebak apa yang dinamakan eigenrichting.  Pandangan masyarakat yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum itu buatan manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih baru dan bermanfaat.  Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami reorientasi dan reformasi untuk menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk menunjukkan otoritasnya sebagai satu kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam perkembangan bangsa.  Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai dengan harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang mencerminkan kepentingan ekonomi (melalui IMF) dan kepentingan politik (tarik ulur partai politik).
Kita sebenarnya mengharapkan agar hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa.  Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang berdampak pada kesengsaraan rakyat.  Hukum harus berubah dengan lebih banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan yang tidak pada tempatnya.  Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya tanpa campur tangan kekuasaan.
D. Penutup
Hukum di Indonesia terbukti telah menjadi alat kekuasaan, hukum bukanlah sesuatu yang otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain yang lebih besar.  Keadaan ini harus diperbaiki pada saat ini karena saat ini adalah momentum yang tepat untuk itu dimana hukum harus menunjukkan otoritasnya dan secara fleksibel mengikuti perkembangan dan tuntutan rakyat.  Pengertian yang fleksibel dari hukum di sini jangan diartikan bahwa hukum itu plin-plan dalam menghadapi perkembangan jaman, tetapi pengertian yang benar dalam konteks ini adalah bagaimana hukum dapat menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif.  Jadi lebih tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum terhadap tuntutan rakyat.
Dosen Tetap Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal. 1.  Ada juga yang berpendapat bahwa sosiologi hukum itu sebenarnya merupakan cabang dari ilmu hukum yang berfungsi sebagai kritik terhadap hukum.
  Bandingkan dengan pendapat Thomas Hobbes yang mendasarkan kekuatan hukum pada kedaulatan negara.  Tetapi Austinlah yang menerapkan dasar tersebut dalam perkembangan sistem hukum modern.  W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 149
  Inti atau hal yang prinsipil dari hukum memang persoalan keadilan, tetapi pembicaraan mengenai keadilan juga harus berpandangan ke depan dan tidak menggunakan konsep-konsep lama.  Dalam narasi yang lebih besar, hukum berfungsi untuk membikin hidup lebih mudah, lebih gampang dan tidak menyusahkan.
  Rudolf von Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 20.  Bandingkan dengan istilah hukum yang mandul yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
  Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988, hal. 57.  Lebih lengkap mengenai masalah ini dapat dibaca di Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
  Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial Dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal. 6
   Reinhard Bendix, The Comparative Analysis of Historis Change, dalam Soscial Theory and Economic Change, disunting oleh T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publication, London, 1967, hal. 308-311.
  I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal.
  Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1978, hal. 259.
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo University Press, London, 2nd Edition, 1957, hal. 260.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Depkeh dan Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun, hal. 13-14.
George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyunting Alimandan, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 2 dan 16.
Bandingkan pertanyaan ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh Bottomore dalam Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal, 30.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar