Penerapan Hukuman Mati adalah Pelanggaran HAM dan Konstitusi
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS) menyesalkan kembali diterapkannya hukuman mati. Pada hari Minggu dini
hari, 20 Maret 2005, Astini menjalani eksekusi hukuman mati di Jawa Timur. Dia
menjadi orang keempat yang dieksekusi mati dalam kurun 1 tahun terakhir,
tiga lainnya dieksekusi di Sumatra Utara untuk kasus narkoba. Sementara di
kedepannya masih ada 53 orang terpidana mati –sebagian besar untuk kasus
pidana narkoba dan terorisme- yang belum dieksekusi, bila mengacu pada data
dari Jaksa Agung RI.
Sebagai salah satu organisasi HAM di Indonesia, Kontras
menentang keras pelaksanaan hukuman mati (death penalty/capital punishment).
Ada 2 alasan dasar mengapa KontraS menolak hukuman mati. Pertama ,
atas dasar prinsip hukum HAM yang mengutamakan nilai kemanusian di atas
hukum positif apa pun. Kedua , atas dasar realitas politik hukum di
Indonesia yang masih tidak netral dan korup.
Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam
berbagai hukum/perjanjian HAM internasional -di mana Indonesia juga
menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:
1.
Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting,
yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable
rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau
dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang,
termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut
menandatangani Deklarasi Universal HAM dan beberapa waktu lalu Presiden
SBY telah berkomitmen akan menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil
Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap
manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.
2.
Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran
dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini
bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan
eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah
meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti
Penyiksaan No.5/1998.
3.
Penerapan hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan
perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty
Internasional , mencatat hingga 1 Oktober 2004 lalu, terdapat 118 negara
–dengan rata-rata pertambahan 3 negara tiap tahun- yang telah menghapuskan
hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari
jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam
konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman
mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial
yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati -baik melalui
mekanisme hukum atau politik- di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia
di mata komunitas internasional.
Atas dasar pertimbangan politik
hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena:
1.
Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem
peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya
sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah
proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di
Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah
institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.
Bahkan menurut riset Amnesty Internasional, di Amerika Serikat (sejak 1973)
sekalipun telah terjadi kesalahan sistem judisial terhadap 116 orang terpidana
mati.
2.
Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan
mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal
menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan
jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital
punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan
hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan
dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya
kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata
disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya
seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan
terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan
berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi
ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
3.
Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi,
di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang
tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar
biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban
jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.
4.
Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang
kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai
dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik
berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski
hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi
hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45
(Amandemen Kedua) menyatakan:
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
5.
Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa
waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab
Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada Kartini, seorang TKW, dengan
alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di
Sumatra Utara tahun lalu dan Astini kemarin ini.
Berdasarkan uraian diatas tersebut
KontraS mendesak:
- Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi politik dari Presiden.
- Secara strategis jangka panjang, perlu dilakukan pencabutan hukuman mati di berbagai produk hukum Indonesia, mulai dari KUHP hingga UU yang relevan.
- Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut kedua Protokol Tambahannya (Optional Protocol I & II).
- Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.
Jakarta, 23 Maret 2005
Badan Pekerja KontraS
Edwin
Partogi
Kepala
Bidang Operasional