REKAYASA PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
16 July, 2010 - 08:58 by lena
Karakter
tidak otomatis berkembang pada diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa
sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas.
Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat
multidimensi yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak. Sekolah /lembaga
pendidikan secara mandiri tidak akan mampu mengembangkan karakter di kalangan
peserta didik. Rekayasa sosial untuk pembangunan karakter perlu direncanakan
dan dilaksanakan sebaik dan secermat mungkin. Proses ini berlangsung amat
panjang, bahkan berlangsung sepanjang massa khususnya lewat pendidikan dan
pendidIkan ilmu-ilmu sosial atau IPS memiliki peran sentral dalam pembangunan
karakter bangsa.
Demikian
disampaikan guru besar UNY, Prof. Dr. Zamroni dalam seminar internasional “The
Role of Social Studies in The Contex of Nations and Character Buiilding”, yang
diselenggarakan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial
Indonesia (HISPISI) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu sosial (FIS)
Universitas Negeri Makasar dan HISPISI Daerah Sulawesi Selatan. Seminar yang
berlangsung di Hotel Clarion , 13-14 Juli 2010, dihadiri pengurus pusat
HISPISI, dosen, guru, mahasiswa dengan nara sumber lain Prof. Udin
S.Winataputra,MA, Prof.Tsuchiya Takeshi , Prof.Dr. Arismunandar,MPd dan para
pakar pendidikan karakter & integritas publik pada Paralel Session antara
lain dari UNY, Dr. Muhsinatun S.Masruri, dan Suhadi
Purwantara, MSi. Hadir juga pada kesempatan tsb Dekan FISE UNY, Pembantu
Dekan 2, Kepala Kantor Humas ,Promosi yang juga pengurus pusat HISPISI sebagai
peserta.
Lebih
jauh Zamroni mengatakan karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran
dari sifat-sifat yang ada, seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran,
kebanggaan, keterbukaan, kerja keras, dan semangat untuk berprestasi. Karakter
bangsa akan muncul sebagai keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai
karakteristik moral di atas. Oleh karena itu, suatu karakter bangsa mesti
dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tradisi yang dimiliki bangsa itu sendiri
dipadukan dengan konteks bangsa yang ada seperti, lembaga-lembaga,
kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta agama yang dinut mayoritas
warga bangsa tersebut. Karakter bangsa juga sangat erat kaitannya dengan sistem
politik yang ada. Bahkan suatu konstitusi suatu bangsa merupakan cerminan
karakter bangsa yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa karakter bangsa
merupakan suatu basis untuk melahirkan kesadaran nasional dan jiwa patriotisme
bangsa yang merupakan fondasi bagi terwujudnya bagsa yang mandiri, merdeka dan
berdaulat.
Zamroni menegaskan dalam kaitan membangun jati diri dan identitas diri sebagai suatu bangsa atau karakter dalam hal ini, maka semua komponen bangsa harus mengambil peran, antara lain lewat pendidikan dalam arti luas yang dapat diperankan oleh keluarga, media massa, pemerintah dan lembaga sistem persekolahan atau pendidikan formal.
Terkait dengan pendidika, berbagai perubahan perlu dilakukan antara lain: dunia pendidikan harus mulai menekankan pada kultur sekolah sehingga memungkinkan warga sekolah untuk bekerja terbaik guna prestasi terbaik dan penilaian prestasi tidak hanya terbatas dalam aspek intelektual yang ditunjukkan dalam nilai ujian, tetapi juga aspek karakter. Reorientasi pembelajaran juga diperlukan agar pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat memberikan kontribusi maksimal dalam proses mempercepat pembangunan karakter bangsa. Inti dari tujuan pembelajaran adalah mengembangkan “knowing” peserta didik, bukan nya “thingking”. Untuk itu, tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan ilmu-ilmu sosial perlu ditinjaun ulang dan direvisi, tegasnya.
Zamroni menegaskan dalam kaitan membangun jati diri dan identitas diri sebagai suatu bangsa atau karakter dalam hal ini, maka semua komponen bangsa harus mengambil peran, antara lain lewat pendidikan dalam arti luas yang dapat diperankan oleh keluarga, media massa, pemerintah dan lembaga sistem persekolahan atau pendidikan formal.
Terkait dengan pendidika, berbagai perubahan perlu dilakukan antara lain: dunia pendidikan harus mulai menekankan pada kultur sekolah sehingga memungkinkan warga sekolah untuk bekerja terbaik guna prestasi terbaik dan penilaian prestasi tidak hanya terbatas dalam aspek intelektual yang ditunjukkan dalam nilai ujian, tetapi juga aspek karakter. Reorientasi pembelajaran juga diperlukan agar pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat memberikan kontribusi maksimal dalam proses mempercepat pembangunan karakter bangsa. Inti dari tujuan pembelajaran adalah mengembangkan “knowing” peserta didik, bukan nya “thingking”. Untuk itu, tujuan, materi dan organisasi pelaksanaan ilmu-ilmu sosial perlu ditinjaun ulang dan direvisi, tegasnya.
Sekjen
DPP HISPISI yang juga Dekan FISE UNY, Sardiman AM,MPd menjelaskan seminar
ini merupakan program kerja HISPISI Thun 2010. Setelah Makasar, seminar
Internasional berikutnya akan dilanjutkan di Malaka Malaysia dan Jepang.
Terkait dengan pendidikan karakter, hasil seminar ini akan
ditindaklanjuti oleh HISPISI sehingga dapat memberikan kontribusi nyata
dalam pembangunan karakter bangsa. (lensa)
Roscoe
Pound dalam sebuah pernyataannya menyatakan bahwa fungsi hukum adalah social
engineering atau rekayasa sosial. Dalam pemikirannya ia menyatakan bahwa
putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan mampu merubah perilaku
manusia. Pendapat Roscoe Pound tersebut benar ketika ia memandang hukum sebagai
sebuah putusan-putusan hakim dalam sistem hukum anglo saxon atau common law.
Pernyataan
Roscoe Pound tersebut pada awal orde baru dibawa ke Indonesia oleh pakar-pakar
hukum saat itu dengan pemikiran bahwa hukum merupakan alat rekayasa sosial.
Dalam sistem hukum sipil (civil law system) yang diterapkan di
Indonesia, yang menganut model hukum Eropa, hukum adalah sebuah aturan
Undang-undang yang notabene merupakan produk kekuasaan penguasa. Dalam konteks
ini, maka hukum diterapkan oleh penguasa yang memiliki kewenangan membentuk
hukum, dan demi hukum siapapun harus tunduk terhadap aturan hukum tersebut.
Pada
kondisi yang demikian maka hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap
rakyatnya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap
rakyatnya. Ketika kekuasaan berada di tangan orang-orang yang zalim
maka hukum akan begitu ditakuti. Penguasa yang zalim akan menggunakan hukum
untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya nyaris tanpa kendali, hal ini terjadi
di banyak negara berkembang yang mengadopsi teori Roscoe Pound tersebut. Ketika
fenomena Reformasi menyeruak di Indonesia, maka teori ini dijadikan sebagai
salah satu kesalahan besar bidang hukum yang telah melahirkan penguasa yang
out of control. Pertanyaan sederhana adalah apakah Roscoe Pound begitu
gegabah mengeluarkan teori yang melahirkan penguasa yang sangat otoriter?
Dalam
hal ini rupanya telah terjadi kesalahpahaman atas konsep berfikir Roscoe Pound
tersebut. Teori Roscoe Pound yang sangat fenomenal tersebut lahir dari sebuah
sistem yang berbeda dengan sistem yang kita anut. Ia lahir dari sebuah sistem
hukum common law yang menganggap bahwa hukum adalah putusan yang dijatuhkan oleh
hakim (Hukumnya Hakim). Roscoe Pound lahir dalam dunia hukum yang menganggap
bahwa hukum itu dibentuk oleh kekuasaan hakim, bukan penguasa eksekutif!
Hukum
dalam sistem common law, dibentuk oleh hakim, para pihak yang mengajukan
masalah kepada pengadilan memohon keadilan agar diputuskan mana yang benar dan
adil oleh para hakim. Hakim kemudian akan memeriksa kasus tersebut dan kemudian
akan memutuskan apa yang seharusnya dipatuhi oleh para pihak. Hakim membentuk
hukum berdasarkan putusan hakim yang diharapkan akan merubah perilaku para
pihak yang awalnya tidak mengetahui yang benar menurut hukum, dan kemudian akan
bertindak serta berperilaku menurut hukum. Sehingga hukum mendidik ia untuk
faham akan hukum.
Secara
langsung dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan tersebut (law) diharapkan
telah mampu merekayasa atau merubah perilaku (engineering) masyarakat. Dalam
hal ini tidak ada unsur power penguasa untuk menekan kehendaknya
terhadap rakyat, melainkan hakim yang faham hukum mendidik masyarakat bagaimana
berperilaku yang sepatutnya. Hakim mendidik para pihak untuk berperilaku yang
awalnya diluar hukum menjadi manusia yang sadar hukum di tengah masyarakat.
Konsep
pemikiran Roscoe Pound ini menjadi salah kaprah ketika dimasukkan dalam siistem
hukum yang berbeda yaitu sistem civil law yang memandang hukum yang utama
adalah putusan penguasa dan bukan putusan hakim dalam sidang pengadilan! Ketika
diterapkan dalam sistem yang berbeda ternyata menghasilkan makna yang sangat
berbeda dari makna penerapan hukum yang dimaksud oleh Roscoe Pound! Roscoe
Pound tentunya tidak pernah membayangkan bahwa teorinya akan melahirkan
penguasa yang absolut, karena ia hanya berfikir bahwa hukum itu hakim bukan
penguasa.
Secara
sederhana dapat saya ilustrasikan seperti halnya orang yang hendak meletakkan
ikan di kolam yang berbeda, ikan yang hidup di "kolam" common law
ketika letakkan di "kolam" civil law yang tentu saja air,
suhu, serta cuacanya sama sekali berbeda. Bukan ikan dan kolam itu yang salah
tetapi orqang yang meletakkan ikan itu yang salah.
Terakhir diubah tanggal 24 Desember 2008 03:45:46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar