Indikator Demokrasi dalam Pemilu
Sejarah politik
Indonesia menunjukkan, praktik demokrasi dalam arti yang sesungguhnya belum
berumur panjang. Bahkan, pemilu pertama 1955 yang diklaim paling demokratis,
karena ketidakdewasaan politisi sipil harus berakhir dengan Dekrit Juli 1959.
Di bawah demokrasi terpimpin, prinsip-prinsip dasar demokrasi juga tidak
berjalan hingga kekuasaan Soekarno berakhir tahun 1966. Ketika orba mulai
berkuasa, demokrasi bersifat artifisial, karena dengan jargon ''pembangunan''
mensyaratkan stabilitas, sampai lengsernya Soeharto tahun 1998, dan kini
Indonesia kembali memasuki demokrasi liberal. Dari aspek pergantian presiden
(sebagian besar) menunjukkan sistem politik demokrasi, di mana pemilu menjadi
sarana pergantian pimpinan nasional tidak berjalan normal. Tanpa bermaksud
memaafkan buruknya performance demokrasi yang tengah berlangsung, dalam
perspektif sejarah, masih perlu waktu untuk memperbaiki sistem politik dan
mendewasakan kultur demokrasi. Ibaratnya, pemilu memberikan kesempatan
demokrasi ''bernapas'' agar dapat bertahan hidup lebih lama.Keberhasilan pemilu
menjadi penting terutama untuk meyakinkan sistem demokrasi lebih baik dibandingkan
sistem politik lain, di tengah pesimisme masyarakat akan efektivitas demokrasi
saat ini.
Indikator-indikator Demokrasi
Pertama, sejauh mana
pengangkatan wakil rakyat dan pemerintah ditentukan oleh pemilu dengan
kompetisi terbuka? Kompetisi antarpartai tentu saja bukan sekadar mengarahkan
massa ke gelanggang politik, tetapi juga mendekatkan pimpinan politik dengan
rakyat. Penentuan calon legislatif (caleg) dalam sistem proporsional daftar
terbuka seperti saat ini, memang masih ditentukan mekanisme internal partai
dengan sistem perekrutan yang beragam. Lain cerita kalau menggunakan sistem
distrik. Perekrutan internal parpol diharapkan makin mendekatkan caleg dengan
rakyat yang diwakilinya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh partai,
maka makin demokratis hasil pemilu, demikian pula sebaliknya. Artinya, rakyat
mengetahui dengan kualifikasi seperti apa caleg tersebut ditentukan. Sementara dalam
pemilihan paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres),
makin terbuka program-program yang disampaikan kepada masyarakat makin
demokratis pemilu tersebut. Secara etis, pemerintah berkuasa akan
mengatasnamakan rakyat maka sudah sepatutnya program yang dikampanyekan oleh
capres dan cawapres diketahui dengan baik oleh masyarakat. Belajar dari Pemilu
1999, populasi pemilih pemilu nanti diperkirakan lebih rasional, sehingga
capres dan cawapres dituntut menyusun program kampanye yang menyentuh
kepentingan orang banyak sekaligus realistis. Sebab, bila capres terpilih tidak
berhasil merealisasikan programnya, rakyat tidak akan memilihnya kembali pada
pemilu mendatang. Sayangnya, pemilu nanti tidak memberikan peluang bagi
munculnya capres dan cawapres alternatif, seolah-olah capres dan cawapres yang
disodorkan partai sudah mencerminkan keinginan rakyat.
Kedua, bagaimana
independensi pemerintah, birokrasi dan partai politik dalam keseluruhan
rangkaian pemilu, serta seberapa bebas dari intimidasi dan penyuapan dalam
proses pemilihan tersebut? Dibanding Pemilu 1999, independensi KPU Pemilu 2004
merupakan satu pertanda baik, walau di beberapa daerah masih terdapat kendala
profesionalisme. Pengawasan dari panitia pengawas pemilu (panwaslu) dan
masyarakat diperlukan dalam menemukan penyalahgunaan fasilitas jabatan oleh
pejabat publik, termasuk dukungan birokrasi dari pusat hingga daerah. Di samping itu,
pengawasan diperlukan untuk melihat sejauh mana tingkat intimidasi dan praktik
penyuapan, baik antarparpol maupun kepada para pemilih, selama rangkaian
pemilu. Masalah intimidasi indentik dengan kekerasan. Sebab itu, selain
pengaturan jadwal kampanye berusaha memperkecil benturan antarpendukung parpol,
partai juga dituntut bertanggung jawab mengendalikan massanya agar kampanye
berlangsung tertib. Kemampuan melaksanakan kampanye dengan tertib juga berdampak
positif bagi partai karena menjadi ukuran meningkatnya kedewasaan berdemokrasi.
Ketiga, seberapa
efektif informasi yang disediakan oleh panitia pemilihan dan sistem kepartaian
kepada para pemilih? Makin intensif informasi yang diperoleh para pemilih dari
KPU terkait dengan masalah pemilihan maka pemilu makin demokratis. Demikian
pula derajat sosialisasi dari partai politik kepada para pemilih berkenaan
dengan caleg dan program serta paket capres dan wapres. Informasi tentang caleg
diperlukan agar para pemilih mengetahui apa, siapa dan dari partai mana yang
akan memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya caleg dan parpol dapat
menyerap aspirasi masyarakat yang akan diwakilinya kelak. Demikian pula
sosialiasi program oleh capres penting diketahui secara baik oleh pemilih
karena, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak lagi berdasarkan Garis-Garis Besar
Haluan Nengara (GBHN), justru program yang dikampayekan capres dalam pemilu
itulah menjadi program pemerintah jika paket calon presiden dan wapres berhasil
memenangkan pemilihan presiden. Kendalanya, penduduk di daerah-daerah terpencil
minim memperoleh informasi baik tentang caleg maupun program capres karena
terbatasnya jangkauan media, dibandingkan penduduk daerah perkotaan. Padahal
menurut Huntington (1968), kekuatan politik yang mampu meraih dukungan luas
dari kaum pedesaan akan memperoleh kestabilan politik secara nasional.
Keempat, apakah
terdapat akses yang sama bagi semua partai dan kandidat kepada media massa atau
saluran komunikasi lainnya, dan sejauhmana perimbangan berita oleh media kepada
partai dan kandidat yang berbeda-beda itu? Ketimpangan akses partai politik dan
kandidat terhadap media massa akan menyulitkan partai untuk mensosialisasikan
atribut, gagasan serta aktivitas politik mereka. Hal ini menuntut kemampuan
partai untuk berhubungan dengan media massa. Di sisi lain, media massa juga
dituntut berimbang dalam pemberitaan terhadap partai dan kandidat yang
berbeda-beda. Makin berimbang pemberitaan media terhadap semua kontestan maka
pemilu makin demokratis, demikian sebaliknya. Masalahnya, masing-masing media
mempunyai perspektif bahkan afiliasi politik tertentu, maka media massa pun
dituntut bersikap proporsional. Bila tidak ada pengaturan mengenai hal ini,
maka media massa kemungkinan besar akan didominasi partai dan kandidat yang
berkantong tebal dalam bentuk intensitas pemasangan iklan dan ini membuat
kompetisi berlangsung tidak seimbang.
Kelima, seberapa
besar proporsi dari pemilih yang berhak memilih benar-benar menggunakan hak
pilihnya?Tinggi rendahnya proporsi pemilih menggunakan hak pilihnya dari
seluruh jumlah pemilih, mencerminkan tingkat partisipasi politik masyarakat
dalam pemilu. Makin besar jumlah pemilih menggunakan hak pilihnya, menunjukkkan
meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan sekaligus
menjadi indikasi meningkatnya demokrasi. Sebaliknya, makin tinggi jumlah
pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput akan menurunkan tingkat
demokrasi, meski demikian pemilu tetap saja sah. Dalam konteks ini, disbanding
pemilu-pemilu sebelumnya gerakan golput disamping melanggar undang-undang
menjadi kurang efektif. Lebih realistis melakukan pendidikan politik agar
masyarakat tidak memilih politisi "bermasalah".
Aspek terakhir yang
perlu diperhatikan, sejauhmana penegakan hukum terhadap para pelanggar
ketentuan pemilu. Penegakan hukum merupakan pendukung (complement) dalam
membangun sistem demokrasi, termasuk dalam rangkaian pemilu. Catatan panwaslu
tahun 1999 menunjukkan kasus pelanggaran mencapai 4.290 kasus dan tak satupun
diproses pengadilan. Penemuan beberapa kasus oleh panwaslu beberapa waktu yang
lalu di berbagai daerah dan diantaranya ada yang telah diproses pengadilan
patut disambut positif, tinggal bagaimana keputusan peradilan. Tapi jika pemilu
gagal, tanpa disuruh militer pasti sudah siap.
Penulis, mahasiswa Program Pascasarjana
FISIP-UI Jurusan Ilmu Politik
ka.. aku boleh minta sebutin indikator dari
BalasHapusa. demokrasi
b.kesejahterahan
c. ketahanan ekonomi
d. nasionalisme
e. hak rakyat
pliss... bantu aku buat tugas..
sebagian ud tak kirim lewat email de.. :D
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskak indikator demokrasi dong yang lebih singkat gtu:)
BalasHapus