HUKUM
SEBAGAI INSTITUSI SOSIAL
Mengenai Pers sebagai Suatu
Kebutuhan
Tugas teori hukum adalah untuk mendeskripsikan, menjelaskan,
mengungkap, serta memprediksi atau memproyeksikan hukum. Di dalam teori hukum
pula, hukum dilihat dari tiga sudut pandang : hukum sebagai peraturan yang
menciptakan kepastian, hukum sebagai institusi sosial, dan hukum sebagai
institusi keadilan. Ketiga hal tersebut bertujuan untuk menemukan hukum
sebagaimana keinginan untuk dideskripsikan, dijelaskan, diungkap serta
diprediksi. Bagaimana dengan kedudukan hukum sebagai institusi sosial,
dipengaruhi oleh perkembangan riil dari masyarakat tempat berlangsungnya hukum
tersebut. Sebagai institusi sosial hukum berperan dalam menciptakan keadilan,
yakni terutama pada eksistensi hak-hak dasar manusia, termasuk kebebasan
berpendapat, berekspresi, dan sebagainya yang berada dalam kerangka pers.
1.
Institusi
Sosial dan Hukum.
Hukum berangkat dari kebutuhan masyarakat tempat hidiupnya.
Hukum sendiri tidak dapat dipandang hanya sekedar peraturan saja, namun juga
lebih kepada fungsi sosialnya. Hukum diperlukan dalam fungsi sosialnya, yakni
untuk mengatur masyarakat, yakni dalam konteks untuk mengintegrasikan perilaku
anggota-anggota masyarakatnya. Lalu apa hukum dapat disebut sebagai institusi
sosial? Perlu dikaji secara empiris mengenai hal tersebut.
Institusi sosial pada hakikatnya digunakan sebagai alat, atau perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat terpenuhi secara seksama. Sejalan dengan ketertiban dan keadilan sebagai kebutuhan masyarakat, maka diperlukan institusi yang akan memenuhi kebutuhan tersebut.
Institusi sosial pada hakikatnya digunakan sebagai alat, atau perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dapat terpenuhi secara seksama. Sejalan dengan ketertiban dan keadilan sebagai kebutuhan masyarakat, maka diperlukan institusi yang akan memenuhi kebutuhan tersebut.
Sebagaimana institusi sosial, maka
institusi tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Stabilitas, yakni kehadiran institusi hukum menimbulkan kemantapan dan keteraturan dalam usaha untuk mencari keadilan tersebut.
b. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.
c. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia tersebut maka institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma.
d. Adanya jalinan antar institusi, dimana ada interaksi atau kaitan antara institusi yang satu dengan institusi yang lain di dalam masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan.
a. Stabilitas, yakni kehadiran institusi hukum menimbulkan kemantapan dan keteraturan dalam usaha untuk mencari keadilan tersebut.
b. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat.
c. Sebagai kerangka sosial untuk kebutuhan manusia tersebut maka institusi menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma.
d. Adanya jalinan antar institusi, dimana ada interaksi atau kaitan antara institusi yang satu dengan institusi yang lain di dalam masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan.
Kehadiran institusi dalam masyarakat, menjadi penting karena
ada suatu proses yang harus ditempuh masyarakat untuk menjadikan institusi
tersebut, sebagai suatu sarana yang dapat mejalankan peranannya dengan baik.
Hukum juga merupakan institusi sosial yang secara khusus dijadikan sarana untuk
mewujudkan keadilan. Hukum sebagai institusi karena memenuhi persyaratan yang
diajukan. Hukum memiliki stabilitas, yang artinya hukum memberukan keteraturan
dan usaha untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat. Hukum memberikan suatu
kerangka sosial, yakni dalam upaya pemenuhan kebutuhan akan keadilan, yang
kemudian ditampilkan dalam bentuk norma hukum. Dalam mencapai kebutuhan
tersebut, hukum berinteraksi dengan institusi-institusi sosial yang lain dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Hukum sebagai institusi sosial secara umum bertujuan untuk
menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat, yang mana penyelenggaraan tersebut
berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk
melaksanakannya. Hal ini berarti bahwa institusi hukum berhubungan dengan
perkembangan organisasi masyarakat tempat hidupnya. Lembaga sosial, dimana
hukum juga termasuk sebagai lembaga sosial, perlu pelembagaan agar
kaidah-kaidah hukum mudah dimengerti, ditaati, dihargai, terutama dalam proses
kehidupan sehari-hari yang pada gilirannya masyarakat akan menjiwainya
(internalized). Pelembagaan ini bertujuan agar fungsi sosial hukum (sebagai
institusi sosial) dapat tercapai dan dapat digunakan sebagai sarana yang
efektif. Dalam kaitannya pula sebagai lembaga sosial, hukum memiliki fungsi :
§ memberikan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana cara bertingkah laku, atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok;
§ menjaga keutuhan kehidupan masyarakat yang bersangkutan;
§ memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan suatu sistem pengendalian sosial.
§ memberikan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana cara bertingkah laku, atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok;
§ menjaga keutuhan kehidupan masyarakat yang bersangkutan;
§ memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan suatu sistem pengendalian sosial.
2.
Pers
sebagai Kebutuhan Sosial Masyarakat.
Kebutuhan akan informasi, merupakan salah satu kebutuhan
masyarakat yang sudah semestinya dipenuhi. Informasi bagi masyarakat merupakan
salah satu hal yang mempengaruhi perkembangan kehidupan. Informasi ini diwadahi
oleh pers. Pers juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme,
maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu
dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Pers baik
di Indonesia maupun negara-negara lain, akan selalu ada kekuatan tarik-menarik
antara media pers dengan masyarakat, pemerintah, atau kekuatan politik.
Interaksi ini menyebabkan ketegangan-ketegangan antara media pers atau
pengelola media pers dengan pemilik modal, pemasang iklan, kekuatan macam-macam
seperti ekonomi di luar perusahaan media pers, atau kekuatan politik, termasuk
penguasa pemerintahan.
Oleh karena ketegangan-ketegangan yang terjadi seperti di atas, maka diperlukan suatu pengaturan mengenai pers. Pertama kali peraturan mengenai pers di Indonesia dikenal bernama Persbredel Ordonnatie yang kemudian dicabut pada tahun 1954 berdasarkan UU No. 23 Tahun 1954 karena dianggap bertentangan dengan pasal 19 dan 33 UUDS 1950. Kedua, pada pasal 28 UUD 1945, sebelum amendemen secara yuridis menjamin adanya kemerdekaan pers. Namun TAP MPR No. IV/1978 masih menggunakan istilah “kebebasan”, termasuk pula UU Pokok Pers No. 11/1966 dan UU No. 21 Tahun1982. Baru setelah berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, kembali memakai istilah kemerdekaan pers.
Pers merupakan perwujudan dari suatu keadilan, yakni bagaimana hak dasar manusia, seperti berhak atas kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Kebebasan ini oleh masyarakat dianggap penting untuk dijamin dengan maksud agar masyarakat bebas mendapatkan informasi dan atau mengeluarkan pendapat, sebagai kebutuhan mereka. Akan tetapi, kebutuhan ini perlu dikonstruksi dalam sebuah institusi yang mewadahinya. Institusi pers hadir sebagai lembaga yang bergerak untuk mewujudkan penyebaran informasi, sekaligus juga sebagai wadah yang tepat untuk meyalurkan pendapat.
Oleh karena ketegangan-ketegangan yang terjadi seperti di atas, maka diperlukan suatu pengaturan mengenai pers. Pertama kali peraturan mengenai pers di Indonesia dikenal bernama Persbredel Ordonnatie yang kemudian dicabut pada tahun 1954 berdasarkan UU No. 23 Tahun 1954 karena dianggap bertentangan dengan pasal 19 dan 33 UUDS 1950. Kedua, pada pasal 28 UUD 1945, sebelum amendemen secara yuridis menjamin adanya kemerdekaan pers. Namun TAP MPR No. IV/1978 masih menggunakan istilah “kebebasan”, termasuk pula UU Pokok Pers No. 11/1966 dan UU No. 21 Tahun1982. Baru setelah berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, kembali memakai istilah kemerdekaan pers.
Pers merupakan perwujudan dari suatu keadilan, yakni bagaimana hak dasar manusia, seperti berhak atas kebebasan untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Kebebasan ini oleh masyarakat dianggap penting untuk dijamin dengan maksud agar masyarakat bebas mendapatkan informasi dan atau mengeluarkan pendapat, sebagai kebutuhan mereka. Akan tetapi, kebutuhan ini perlu dikonstruksi dalam sebuah institusi yang mewadahinya. Institusi pers hadir sebagai lembaga yang bergerak untuk mewujudkan penyebaran informasi, sekaligus juga sebagai wadah yang tepat untuk meyalurkan pendapat.
3.
Undang-undang
Pers sebagai Institusi Sosial.
Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 diartikan sebagai lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam konteks hukum
sebagai institusi sosial yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan, maka
pengertian ini hendak memberikan gambaran nyata bahwa di dalam masyarakat, ada
kebutuhan untuk mendapatkan informasi. Informasi ini disediakan oleh institusi
pers yang oleh hukum ditentukan sebagai suatu lembaga sosial tersendiri.
Meski begitu, perundang-undangan Pers diberlakukan dalam praktiknya belum sepenuhnya mendukung kemerdekaan pers. Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, misalnya Pasal 18 telah mendistorsi kepastian hukum yang menghantui masyarakat pers di Indonesia, misalnya disebutkan pada ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Atau ketentuan lainnya, pasal 18 ayat (2): Perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah. Sedang pasal (3) menentukan: Perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dan pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Realita yang terjadi di masyarakat, peraturan yang terdapat di dalam undang-undang ini digunakan (justru) untuk menekan masyarakat, yakni menggunakan undang-undang untuk menuntut lembaga-lembaga pers yang dianggap memberikan informasi atau mengeluarkan pendapat yang tidak sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkaitan dengamn informasi tersebut.
Meski begitu, perundang-undangan Pers diberlakukan dalam praktiknya belum sepenuhnya mendukung kemerdekaan pers. Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, misalnya Pasal 18 telah mendistorsi kepastian hukum yang menghantui masyarakat pers di Indonesia, misalnya disebutkan pada ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Atau ketentuan lainnya, pasal 18 ayat (2): Perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah. Sedang pasal (3) menentukan: Perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dan pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Realita yang terjadi di masyarakat, peraturan yang terdapat di dalam undang-undang ini digunakan (justru) untuk menekan masyarakat, yakni menggunakan undang-undang untuk menuntut lembaga-lembaga pers yang dianggap memberikan informasi atau mengeluarkan pendapat yang tidak sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkaitan dengamn informasi tersebut.
Dalam konteks hukum sebagai institusi sosial, maka UU Pers
dapat dikatakan sebagai hukum yang memiliki fungsi sebagaimana institusi
sosial. UU Pers mengatur mengenai kehidupan pers ini dapat memenuhi ciri-ciri,
yakni sebagaimana ciri-ciri institusi sosial sebagaimana yang dikemukakan di
atas, yakni :
a. UU Pers memiliki dimensi stabilitas, dimana kehadiran UU Pers ini menimbulkan kemantapan dan keteraturan dalam usaha untuk memberikan tempat bagi adanya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam konteks keadilan, kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi perlu diberikan kepada masyarakat. UU Pers ini membuat masyarakat mengerti tentang siapa yang diberikan hak untuk mengatur mengenai pers, dimana akan diadakan batasan-batasan dan hubungan antar anggota masyarakat dalam kaitannya dengan tuntutan pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi.
b. Hukum Pers, terlebih UU Pers ini, bagi masyarakat akan dipergunakan sebagai kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan untuk berpendapat dan mendapatkan informasi dalam masyarakat. Kerangka sosial ini akan menjadi upaya untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, dimana tuntutan akan kebebasan berpendapat seseorang dalam masyarakat akan dibatasi karena bertemu dengan kebebasan berpendapat anggota masyarakat yang lain, atau bahkan komunitas tertentu yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
c. UU Pers sebagai suatu kerangka sosial untuk kebutuhan manusia tersebut, maka UU Pers diharuskan menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma. Norma-norma yang kemudian dibentuk melalui UU Pers ini misalnya Kode Etik Wartawan, yang mengatur bagaimana wartawan mesti menjalankan perannya sebagai pencari berita dengan taat dan patuh pada norma ini.
d. Pengaturan tentang pers sebagaimana terdapat dalam UU Pers, memungkinkan adanya interaksi antara institusi ini dengan institusi-institusi yang lain. Institusi ini juga melakukan hubungan antara lembaga-lembaga ekonomi, seperti perusahaan atau pemilik modal, lembaga-lembaga politik, terutama dalam memberikan atau menyebarkan informasi yang diselenggarakan oleh institusi pers tersebut. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi tidak semata-mata dapat dipenuhi oleh institusi hukum (UU Pers) saja, sebab diperlukan interaksi antar institusi demi pemenuhan kebutuhan tersebut.
a. UU Pers memiliki dimensi stabilitas, dimana kehadiran UU Pers ini menimbulkan kemantapan dan keteraturan dalam usaha untuk memberikan tempat bagi adanya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, serta mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam konteks keadilan, kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi perlu diberikan kepada masyarakat. UU Pers ini membuat masyarakat mengerti tentang siapa yang diberikan hak untuk mengatur mengenai pers, dimana akan diadakan batasan-batasan dan hubungan antar anggota masyarakat dalam kaitannya dengan tuntutan pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi.
b. Hukum Pers, terlebih UU Pers ini, bagi masyarakat akan dipergunakan sebagai kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan untuk berpendapat dan mendapatkan informasi dalam masyarakat. Kerangka sosial ini akan menjadi upaya untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, dimana tuntutan akan kebebasan berpendapat seseorang dalam masyarakat akan dibatasi karena bertemu dengan kebebasan berpendapat anggota masyarakat yang lain, atau bahkan komunitas tertentu yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
c. UU Pers sebagai suatu kerangka sosial untuk kebutuhan manusia tersebut, maka UU Pers diharuskan menampilkan wujudnya dalam bentuk norma-norma. Norma-norma yang kemudian dibentuk melalui UU Pers ini misalnya Kode Etik Wartawan, yang mengatur bagaimana wartawan mesti menjalankan perannya sebagai pencari berita dengan taat dan patuh pada norma ini.
d. Pengaturan tentang pers sebagaimana terdapat dalam UU Pers, memungkinkan adanya interaksi antara institusi ini dengan institusi-institusi yang lain. Institusi ini juga melakukan hubungan antara lembaga-lembaga ekonomi, seperti perusahaan atau pemilik modal, lembaga-lembaga politik, terutama dalam memberikan atau menyebarkan informasi yang diselenggarakan oleh institusi pers tersebut. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi tidak semata-mata dapat dipenuhi oleh institusi hukum (UU Pers) saja, sebab diperlukan interaksi antar institusi demi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Suatu kesimpulan akhir mengenai keberadaan institusi sosial,
yakni hukum, dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi. UU Pers menyiratkan ada suatu
fungsi sosial yang dinampakkan dalam substansinya. Pers nasional mempunyai
fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Namun
pers juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. UU Pers memberikan pedoman
bagi warga masyarakat tentang bagaimana cara menggunakan pers sebagai media
informasi, atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan
sengketa pers. Dalam konteks menjaga keutuhan kehidupan masyarakat pers
institusi-institusi lainnya. Kontrol masyarakat dimaksud dalam UU Pers ini
dapat diwujudkan dengan cara penjaminan setiap orang akan Hak Jawab dan Hak
Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media
watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara. Kebebasan pers atau
kemerdekaan pers dianggap seolah-olah atau semata-mata milik para wartawan,
pengelola media pers, atau pengusaha media pers, padahal pada UU Pers, kebebasan
pers dianggap milik semua orang, dan masyarakat seharusnya membantu melengkapi
atau menyeimbangkan pemberitaan untuk kepentingan atau manfaat seluruh
masyarakat. Ini artinya UU Pers memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan suatu sistem pengendalian sosial terutama dalam kaitannya untuk
mengendalikan pemaknaan kebebasan pers secara proporsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar