FLEKSIBILITAS HUKUM
(Sikap Hukum Menghadapi Perkembangan
Jaman)
Abstrak
Hukum telah
lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk berbagai
keperluan. Tetapi hukum yang benar-benar otonom di masyarakat kita
tentulah masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum
yang terbentuk (undang-undang atau peraturan lainnya) seringkali lebih dominan
(seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain) dibandingkan makna hukum
yang berciri keadilan. Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai
suatu sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan
berupa timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.
Kata kunci: social control, social
engineering, fleksibilitas hukum
A. Pendahuluan
Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari
fakta atau realitas karena sosiologi hukum berparadigma fakta sosial.
Sosiologi hukum merupakan cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk
mempelajari hukum tidak sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta
sosial. Berparadigma
fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun tentang hukum.
Hukum dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan. Sejak jaman Yunani dan Romawi sampai sekarang hukum
mengalami perkembangan yang luar biasa yang mungkin saja orang Yunani dan
Romawi dahulu tidak akan dapat memperkirakan hal-hal yang terjadi sekarang
dalam bidang hukum. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat
hukum yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu
sendiri senantiasa mengalami perkembangan.
Tesis yang hendak dikemukakan pada awal tulisan ini adalah
apakah hukum itu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sebaliknya
masyarakat berkembang karena adanya camput tangan hukum. Jika diikuti
jalan pikiran yang pertama maka yang akan dipakai sebagai dasar pijakan adalah
ajaran von Savigny mengenai hukum tumbuh, hidup dan berkembang dalam
masyarakat dan jika yang dipakai adalah jalan pikiran yang kedua maka
pendekatannya lebih mengarah kepada apa yang telah dikemukakan oleh John
Austin yang memandang hukum sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat.
Austin memisahkan hukum dan keadilan, ini adalah kekeliruan
besar karena bagaimanapun inti hukum adalah keadilan. Pemisahan ini tidak
didasarkan pada pengertian baik atau buruk akan tetapi didasarkan pada
kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the power of a superior). Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa aliran hukum
imperatif dari Austin tidak menghendaki hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang
dalam masyarakatnya sendiri. Hukumnya adalah hukum penguasa yang superior
untuk kepentingan penguasa itu sendiri.
Apa yang dikemukakan di atas hanyalah merupakan suatu gambaran
adanya dua sisi yang berbeda dalam pandangan mengenai hukum yang berangkat dari
dua sisi yang berbeda pula. Dua pandangan ini menjadi dasar pijakan untuk
melihat lebih jauh hukum yang berkembang di Indonesia dalam menghadapi
perkembangan jaman
B.
Nuansa Kolonial Dalam Negara Nasional
Hukum yang ada di Indonesia (minus hukum adat) sebagian
besar masih didominasi oleh hukum peninggalan kolonial Belanda melalui
produk-produknya yang sekarang masih berlaku dengan berbagai modifikasi,
dilengkapi dengan undang-undang baru untuk mengatur bidang yang baru muncul
kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa kolonial, hukum tidak
digunakan dalam fungsinya yang positif, dalam pengertian tidak digunakan untuk
tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi keadilan tetapi
lebih tepat disebut sebagai alat penjajah untuk memperkuat posisinya dan
mendapatkan legitimasi dalam menghukum para pejuang kemerdekaan.
Hukum menjadi sub sistem dari sistem penjajahan sehingga
hukum tidak mempunyai otonomi. Hukum dalam tahap ini menurut pandangan Nonet
dan Selznick masih berada dalam tahap hukum represif atau jika dipandang
dari teorinya Roscou Pound hukum dipandang sebagai alat penguasa (baik
dalam fungsinya sebagai social control maupun as a tool as social
engineering) yang bertujuan untuk mengkooptasi rakyat Indonesia agar tidak
melakukan tindakan yang merugikan penjajah.
Pandangan hukum dari penjajah adalah
pandangan hukum Austin yang imperatif. Kehidupan hukum yang
demikian oleh Rudolf von Jhering dipandang terlalu sibuk dengan
konsep-konsep sehingga ilmu hukum untuk kepentingan sosial sehingga hukum
menjadi mandul apabila dipisahkan dari lingkungannya.
Austin berpendapat hukum merupakan
suatu proses sosial untuk mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin
adanya ketertiban dalam masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah
untuk mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum,
perkembangan hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of
jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called
tidak memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif
berasal dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat (soverign) Ketertiban bagi penjajah merupakan hal yang sangat
penting. Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka agar tidak
terganggu dan uang hasil penjualan rempah-rempah dan cengkeh tidak dihamburkan
untuk biaya perang sehingga keuntungan yang diperoleh bisa diangkut ke Belanda.
Bangsa Indonesia sebagai negara terjajah atau sebagai negara
pinggiran tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan hukum. Peran
pinggiran bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dalam diskusi dan debat
mengenai perlakuan terhadap hukum adat. Bangsa Indonesia sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk berbicara mengenai suatu permasalahan besar yang
menyangkut dirinya dan hanya menjadi penonton dan obyek kontrol oleh
hukum. Sebagai negara
pinggiran maka segala keputusan dan siasat ditentukan dari Den Haag.
Sesudah Indonesia merdeka, hukum masih juga dipandang
sebagai alat penguasa, ini terbukti dengan adanya UU No. 19/1964 yang
menentukan bahwa hukum merupakan alat revolusi pancasila menuju masyarakat
sosialis Indonesia. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa kekuasaan
yudikatif tidak berdaya menghadapi kekuatan eksekutif sehingga mekanisme check
and balance tidak berjalan, Perubahan dari negara pinggiran ke negara
sebagai pelaku penuh dalam kehidupan hukum tidak dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia malahan mewarisi sikap kolonial yang tidak
memajukan hukum sebagai instrumen membangun bangsa.
Memasuki orde baru Indonesia mulai melakukan
industrialisasi. Pemanfaatan tenaga manusia mulai ditinggalkan dan diganti dengan
mesin-mesin modern. Modernisasi dalam indutrialisasi membawa dampak yang
tidak sedikit pada masyarakat. Jika modernisasi dipandang sebagai
transisi menuju masyarakata modern, waktu dan pentahapan modernisasi seringkali
dilalaikan. Bukti historis dan komparatif jelas mengungkap bahwa
modernisasi tidak dapat berlangsung dua kali melalui cara yang sama.
Variasi waktu dan pentahapan dapat dipengaruhi misalnya oleh inisiatif dan
perencanaan pemerintah, oleh persaingan dan peniruan, oleh difusi kebudayaan
dan ideologi.
Sebenarnya hukum Indonesia
perkembangannya sudah menuju pada hukum yang modern, ditandai dengan
diterimanya hukum sebagai alat rekayasa sosial, sebagai sarana kebijakan
negara. Diterimanya hukum sebagai sarana rekayasa sosial memperkuat
pemahaman bahwa hukum adalah buatan manusia, sebagai keputusan politik hukum
sangat diwarnai oleh tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dan selektivitas
serta dipengaruhi oleh konteks seperti kondisi-kondisi sosial, ekonomi,
politik, budaya, hukum dan hankam serta struktur-struktur yang ada.
Dalam bidang ilmu pengetahuan hukum,
pemerintah orde baru tidak peduli dengan hal ini. Pemerintah terlalu
sibuk dengan memanfaatkan hukum untuk kepentingannya. Justru yang
dikembangkan adalah usaha mengganti produk undang-undang peninggalan kolonial
tetapi subtansi dari peraturan itu kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang
ada di Indonesia. Sebagai parameternya adalah berapa undang-undang atau
peraturan kolonial yang telah diganti.
C. Hukum yang fleksibel dan tuntutan perubahan
Dalam kehidupan hukum, saat ini adalah masa transisi yang
kedua setelah transisi yang pertama seperti tersebut di atas tidak membawa
pengaruh yang besar terhadap kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa
kolonial. Pada masa transisi yang kedua ini merupakan masa untuk
membangun hukum secara baik, tetapi yang harus diperhatikan oleh pembuat
undang-undang adalah perlu ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai
yang eksak, pasti dan steril.
Sistem hukum sendiri mendapat sebutan yang tidak
menyenangkan, yaitu sebagai dualisme dalam hukum. Istilah dualisme hukum
ini memberikan gambaran tentang kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam
teori dengan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektivitas dari hukum,
antara norma dan fakta sebagai kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi ini sering
membingungkan bagi orang-orang yang berniat untuk mempelajari ilmu hukum secara
mendalam. Mungkin ahli hukum akan menyangkal kenyataan ini dan bahkan
akan menuduh bahwa ini hanyalah merupakan alasan yang dibuat-buat saja.
Castberg F.
memberikan reaksi terhadap pandangan yang dualistik dari karakter hukum ini,
yaitu suatu fakta bahwa orang mengenal karakter normatif dari hukum sebagai
suatu sistem normatif yang mengikat, tidak pernah berusaha membuat solusi yang
dapat memecahkan problem yang menyangkut hubungan antara hukum dengan
realitas. Dasar-dasar dari hukum adalah keputusan-keputusan faktual yang
didasarkan pada fakta-fakta, bentuk-bentuk tindakan atau perilaku individu dan
kesadaran akan kewajiban yang semuanya terletak di dalam kenyataan yang bersifat
psycho-psycsical. Problem kemudian terjadi karena hukum - seperti
digambarkan Kelsen - muncul ke permukaan baik sebagai sollen dan sein.
Suatu kenyataan bahwa kedua kategori itu secara logis berbeda dan terpisah satu
sama lain.
Persepsi normatif dogmatis pada
hakekatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan hukum sebagai
deskripsi dari keadaan yang sesuangguhnya. Tetapi seperti dikatakan oleh
Chamblis dan Seidman, kita sebaiknya mengamati tentang kenyataan bagaimana
sesungguhnya pesan-pesan, janji-janji serta kemauan hukum itu dijalankan.
Janganlah peraturan hukum itu diterima sebagai deskripsi dari kenyataan.
Apabila yang demikian terjadi maka sesungguhnya kita telah membuat mitos
tentang hukum padahal mitos yang demikian itu setiap hari dibuktikan kebohongannya.
Agar tidak termakan oleh mitos-mitos itu maka kita harus
mempelajari fakta atau relaitas yang ada di masyarakat. Fakta sosial yang
ada di masyarakat tak dapat dipelajari dan dipahami hanya melalui kegiatan
mental murni atau melalui proses mental yang disebut dengan pemikiran
spekulatif. Untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian
empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural sciences)
dalam mempelajari obyek studi. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok
persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai barang
sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi
obyek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan.
Norma hukum merupakan fakta sosial seperti halnya arsitektur karena norma hukum
adalah barang sesuatu yang berbentuk material. Sedangkan fakta sosial
yang lain seperti opini hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak
dapat diraba dan adanya hanya dalam kesadaran manusia.
Kembali kepada permasalahan hukum di Indonesia dan ke arah
mana hukum hendak di bangun, maka untuk itu harus diperhatikan beberapa hal
yang agar perubahan dalam hukum betul-betul menyentuh masyarakat sebagai suatu
kesatuan, bukan segelintir elit yang memegang kekuasaan. Untuk itu
pertanyaan yang harus diajukan adalah darimanakah datangnya perubahan sosial
yang sekarang terjadi dan apa sebab-sebab terjadinya perubahan itu.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat
dipandang dari berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah
krisis moneter (yang bermula pada tahun 1997) dan jika dilihat dari segi
politik maka titik tolaknya adalah kehidupan yang tidak demokratis dan
melahirkan pemerintahan yang totaliter. Berbagai perkembangan itu
berpengaruh terhadap kehidupan hukum. Jika pada masa kolonial dan orde
lama hukum digunakan sebagai alat (sebagai alat kepentingan politik), demikian
juga pada orde baru (sebagai alat kepentingan ekonomi). Dari ketiga masa
yang telah dijalani oleh pemerintah Indonesia itu hukum menjadi sub sistem dari
sistem yang lebih besar dan dari sini nampak bahwa hukum sesungguhnya tidak
mempunyai fleksibilitas atau keluwesan untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan
masyarakat.
Dalam masa reformasi, hukum seakan-akan mengalami chaos,
artinya keberadaan hukum dipertanyakan dan disangsikan keefektifannya oleh
masyarakat sehingga merebak apa yang dinamakan eigenrichting.
Pandangan masyarakat yang demikian dapat dimaklumi dengan anggapan bahwa hukum
itu buatan manusia, kenapa tidak boleh dilanggar dan dibuat hukum yang lebih
baru dan bermanfaat. Fungsi dan tugas hukum dalam masa ini mengalami
reorientasi dan reformasi untuk menyesuaikan perkembangan masyarakat.
Saat ini sebenarnya saat yang tepat bagi hukum untuk
menunjukkan otoritasnya sebagai satu kekuatan yang pantas diperhitungkan dalam
perkembangan bangsa. Tetapi apa yang terjadi sepertinya tidak sesuai
dengan harapan karena produk-produk yang muncul saat ini adalah produk yang
mencerminkan kepentingan ekonomi (melalui IMF) dan kepentingan politik (tarik
ulur partai politik).
Kita sebenarnya mengharapkan agar hukum Indonesia yang
dibangun berdasarkan pada kepentingan atau kemauan rakyat bukan penguasa.
Hukum lama sudah terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada yang
berdampak pada kesengsaraan rakyat. Hukum harus berubah dengan lebih
banyak memperhatikan rakyat kecil yang selama ini menjadi korban pembangunan
yang tidak pada tempatnya. Apa yang diharapkan tentu saja dapat terwujud
apabila hukum benar-benar memiliki fleksibilitas dalam mengembangkan dirinya
tanpa campur tangan kekuasaan.
D.
Penutup
Hukum di Indonesia terbukti telah menjadi alat kekuasaan,
hukum bukanlah sesuatu yang otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain
yang lebih besar. Keadaan ini harus diperbaiki pada saat ini karena saat
ini adalah momentum yang tepat untuk itu dimana hukum harus menunjukkan
otoritasnya dan secara fleksibel mengikuti perkembangan dan tuntutan
rakyat. Pengertian yang fleksibel dari hukum di sini jangan diartikan
bahwa hukum itu plin-plan dalam menghadapi perkembangan jaman, tetapi
pengertian yang benar dalam konteks ini adalah bagaimana hukum dapat
menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang keberadaannya
dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif. Jadi lebih
tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum terhadap
tuntutan rakyat.
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam
Pengembangan Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar
tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan
Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal.
1. Ada juga yang berpendapat bahwa sosiologi hukum itu sebenarnya
merupakan cabang dari ilmu hukum yang berfungsi sebagai kritik terhadap hukum.
Bandingkan dengan pendapat
Thomas Hobbes yang mendasarkan kekuatan hukum pada kedaulatan negara.
Tetapi Austinlah yang menerapkan dasar tersebut dalam perkembangan sistem hukum
modern. W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I),
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 149
Inti atau hal yang prinsipil
dari hukum memang persoalan keadilan, tetapi pembicaraan mengenai keadilan juga
harus berpandangan ke depan dan tidak menggunakan konsep-konsep lama. Dalam
narasi yang lebih besar, hukum berfungsi untuk membikin hidup lebih mudah,
lebih gampang dan tidak menyusahkan.
Rudolf von Jhering dalam
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 20. Bandingkan dengan istilah hukum
yang mandul yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam Permasalahan Hukum
di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
Soetiksno, Filsafat Hukum,
Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988, hal. 57. Lebih lengkap
mengenai masalah ini dapat dibaca di Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan
Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial Dalam Konteks Pembangunan
dan Globalisasi, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum
Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di
Semarang, 12-13 Nov. 1996, hal. 6
Reinhard Bendix, The Comparative Analysis of
Historis Change, dalam Soscial Theory and Economic Change, disunting oleh
T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publication, London, 1967, hal. 308-311.
I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi,
Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa
Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13
Nov. 1996, hal.
Adam Podgorecki & Christoper
J. Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
1978, hal. 259.
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo
University Press, London, 2nd Edition, 1957, hal. 260.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu
Tinjauan Sosiologis, BPHN Depkeh dan Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun, hal.
13-14.
George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, Penyunting Alimandan, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 2 dan 16.
Bandingkan pertanyaan ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang
dikemukakan oleh Bottomore dalam Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang
Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal, 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar