Kewajiban
Suami Kepada Isteri dan Anak Pasca Perkawinan
Pasal 41
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b.
Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
Perhatikan
ketentuan Pasal 41 huruf (b), berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat
diartikan bahwasanya tuntutan perceraian dengan tuntutan pemenuhan nafkah anak
adalah 2 hal yang berbeda jadi, bisa saja tuntutan pemenuhan nafkah anak
diajukan terpisah dari tuntutan cerai.
Ketentuan
ini sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 23/ 2002 ditegaskan, Orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik,
dan melindungi anak;
b. menumbuh kembangkan anak sesuai
dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak.
Pasal 30-nya dikatakan :
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan
tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap
orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan di atas jelas dan tegas untuk meminta
tanggung jawab mantan suami atas pemenuhan nafkah anak harus dilakukan dengan
terlebih dahulu mengajukan gugatan mengenai hal tersebut ke Pengadilan.Mengupayakan
pemenuhan kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah anak bisa juga dilakukan
melalui jalur hukum pidana. Untuk hal ini terlebih dahulu harus mengupayakan
laporan polisi bahwa mantan suami telah melakukan penelantaran anak. Dalam UU
Perlindungan Anak, dikatakan penelantaran anak apabila si orang tua melakukan
tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara,
merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. Dengan tidak memberikan
nafkah sudah cukup dikategorikan sebagai penelantaran anak.
Berdasarkan uraian pembahasan yang terdapat dalam bab-bab
sebelumnya, maka pada bab penutup ini penulis memberikan kesimpulan terhadap permasalahan
yang diangkat yaitu tentang kewajiban mantan suami setelah perceraian, sebagai
berikut :
a.
Tanggung jawab bekas suami terhadap bekas isteri dan anak-anaknya setelah
putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, adalah untuk
tanggung jawab atau kewajiban suami setelah perceraian jika tercantum di dalam
gugatan dan disetujui oleh Pengadilan Agama maka hal tersebut harus
dilaksanakan oleh suami. Tetapi jika tidak tercantum dalam gugatan dan bila
Pengadilan Agama tidak menyetujui gugatan dari isteri tentang kewajiban suami
setelah perceraian, berarti setelah putusan perceraian dikeluarkan/ dijatuhkan
oleh majelis hakim, tidak ada yang harus diberikan oleh bekas suami terhadap isteri
dan anak-anaknya. Untuk kewajiban suami yang tercantum dalam gugatan dan
disetujui oleh bekas suami, maka harus melaksanakan putusan Pengadilan Agama
itu dengan sebaik-baiknya. Tetapi pada prakteknya pelaksanaan untuk memberikan
biaya naflcah bagi bekas isteri dan biaya pendidikan bagi anak-anaknya hanya
berjalan beberapa waktu saja, hal ini akan berhenti sama sekali jika bekas
suami tersebut telah menikah lagi. Sejauh ini untuk masalah terhentinya
biaya-biaya tersebut, isteri tidak lagi mengadakan gugatan kembali terhadap
mantan suaminya. Karena mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama hams keluar
biaya dan perlu persiapan mental serta terbuangnya waktu, sehingga isteri lebih
baik memilih untuk pasrah dan berusaha membiayai kebutuhan hidupnya sendiri beserta
anak-anaknya.
b. Adanya beberapa faktor yang menyebabkan pelaksanaan gugatan Pengadilan Agama tentang kewajiban bekas suami memberikan biaya penghidupan kepada isteri dan biaya pendidikan kepada anak-anaknya kurang sesuai dalam arti pelaksanaannya kurang efektif. Hal ini disebabkan karena faktor kesadaran dan keadaan dari bekas suami, artinya kurangnya niat suami untuk membantu isteri dan anak serta kurang atau tidak memahami ajaran Islam tentang hakekat perkawinan dan arti dari perceraian itu sendiri. Dan juga faktor ekonomi dari bekas suami mencukupi atau tidak dapat membantu biaya penghidupan dan biaya pemeliharaan yang dibutuhkan oleh isteri dan anak-anaknya.
b. Adanya beberapa faktor yang menyebabkan pelaksanaan gugatan Pengadilan Agama tentang kewajiban bekas suami memberikan biaya penghidupan kepada isteri dan biaya pendidikan kepada anak-anaknya kurang sesuai dalam arti pelaksanaannya kurang efektif. Hal ini disebabkan karena faktor kesadaran dan keadaan dari bekas suami, artinya kurangnya niat suami untuk membantu isteri dan anak serta kurang atau tidak memahami ajaran Islam tentang hakekat perkawinan dan arti dari perceraian itu sendiri. Dan juga faktor ekonomi dari bekas suami mencukupi atau tidak dapat membantu biaya penghidupan dan biaya pemeliharaan yang dibutuhkan oleh isteri dan anak-anaknya.
Jika suami istri bercerai karena ketidak cocokan. Bagaimana tanggung jawab mantan suami atau pun mantan istri terhadap anak ?
Hubungan anak dengan orang tuanya adalah abadi, sedangkan
hubungan istri dengan suami bisa terputus,dan sebutannya menjadi bekas istri
dengan perceraian tetapi apabila hubungan dengan anak maka tidak akan ada yang
namanya bekas anak, terus seumur hidup menjadi anak, dan anak lelaki sampai dia
mampu membiayai hidupnya sendiri maka tetap menjadi tanggungan sang ayah yang
lebih wajib memberi nafkah kepada semua orang yg menjadi tanggungannya, dan
seorang perempuan sampai dia bisa mendapatkan suami.
Sedangkan hak pengasuhan anak lebih kepada ibu pada saat
suatu keluarga bercerai dengan asumsi bahwa si ibu lebih baik dalam memberikan
perhatian dan curahan kasih sayang , juga waktu dari pada ayah yang bekerja di
luar rumah banting tulang dan peras keringat, bahkan bekas istri pun masih
berhak mendapat nafkah (untuk kehidupan si anak )selama dia masih mengasuh anak
hasil perceraian tersebut karena tanggung jawab memberi nafkah tetap ada pada
ayahnya,baik sebelum ada setelah perceraian.Akan tetapi akan lebih baik apabila
masalah memberi nafkah / ini khususnya dalam hal pendidikan ini dibicarakan
dengan istri , berapa bagiannya, berapa kesanggupannya, kapan diperlukan untuk
apa saja,,,dll
Menurut Al Quran dan Al hadist:
- Allah Taala berfirman, yang
bermaksud:
"Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara sebaik-baiknya." (An Nisa 19) - Dan Allah berfirman lagi:
'Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang baik akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan atas isterinya." (Al Baqarah : 228) - Diceritakan dari Nabi SAW bahwa
baginda bersabda pada waktu haji widak (perpisahan) setelah baginda memuji
Allah dan menyanjung-Nya serta menasehati para hadirin yang maksudnya:
'Ingatlah (hai kaumku), terimalah pesanku untuk berbuat baik kepada para isteri, isteri-isteri itu hanyalah dapat diumpamakan kawanmu yang berada di sampingmu, kamu tidak dapat memiliki apa-apa dari mereka selain berbuat baik, kecuali kalau isteri-isteri itu melakukan perbuatan yang keji yang jelas (membangkang atau tidak taat) maka tinggalkanlah mereka sandirian di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Kalau isteri isteri itu taat kepadamu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka.
Ingatlah! Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isterimu dan sesungguhnya isteri-isterimu itu mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap dirimu. Kemudian kewajiban isteri isteri terhadap dirimu ialah mereka tidak boleh mengijinkan masuk ke rumahmu orang yang kamu benci. Ingatlah! Kewajiban terhadap mereka ialah bahwa kamu melayani mereka dengan baik dalam soal pakaian dan makanan mereka.
(Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah) - Rasulullah SAW bersabda yang
bermaksud:
"Kewajiban seorang suami terhadap isterinya ialah suami harus memberi makan kepadanya jika ia makan dan memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian dan tidak boleh memukul mukanya dan tidak boleh memperolokkan dia dan juga tidak boleh meninggalkannya kecuali dalam tempat tidur (ketika isteri membangkang)." (Riwayat Abu Daud) - Nabi SAW bersabda yang
bermaksud:
"Siapa saja seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan mas kawin sedikit atau banyak sedangkan dalam hatinya ia berniat untuk tidak memberikan hak perempuan tersebut (mas kawinnya) kepadanya. maka ia telah menipunya, kemudian jika ia meninggal dunia, sedang ia belum memberi hak perempuan tadi kepadanya maka ia akan menjumpai Allah pada hari Kiamat nanti dalam keadaan berzina." - Nabi SAW bersabda yang
bermaksud
"Sesungguhnya yang termasuk golongan mukmin yang paling sempuma imannya ialah mereka yang baik budi pekertinya dan mereka yang lebih halus dalam mempergauli keluarganya (isteri anak-anak dan kaum kerabatnya). " - Nabi SAW bersabda yang
bermaksud :
"Orang-orang yang terbaik dan kamu sekalian ialah mereka yang lebih baik dan kamu dalam mempergauli keluarganya dan saya adalah orang yang terbaik dari kamu sekalian dalam mempergauli keluargaku." (Riwayat lbnu Asakir) - Diceritakan dari Nabi SAW bahwa
baginda bersabda yang bermaksud:
"Barang siapa yang sabar atas budi pekerti isterinya yang buruk, maka Allah memberinya pahala sama dengan pahala yang dibenkan kepada Nabi Ayub a.s karena sabar atas cobaan-Nya." ( Cobaan ke alas Nabi Ayub ada empat hal: Habis harta bendanya., Meninggal dunia semua anaknya.,Hancur badannya., Dijauhi oleh manusia kecuali isterinya benama Rahmah )
" Dan seorang isteri yang sabar atas budi pekerti suaminya yang buruk akan diberi oleh Allah pahala sama dengan pahala Asiah isteri Firaun". - Al Habib Abdullah Al Haddad
berkata:
"seorang laki-laki yang sempurna adalah dia yang mempermudah dalam kewajiban-kewajiban kepadanya dan tidak mempermudah dalam kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Dan seorang laki-laki yang kurang ialah dia yang bersifat sebaliknya."
Maksud dan penjelasan ini ialah seorang suami yang bersikap sudi memaafkan jika isterinya tidak menghias dirinya dan tidak melayaninya dengan sempurna dan lain-lain tetapi ia bersikap tegas jika isterinya tidak melakukan sholat atau puasa dan lain-lain, itulah suami yang sempurna. Dan seorang suami yang bersikap keras jika isterinya tidak menghias dirinya atau tidak melayaninya dengan sempurna dan lain-lain tetapi bersikap acuh tak acuh (dingin) jika isteri meninggalkan kewajiban-kewajiban kepada Allah seperti sholat, puasa dan lain-lain, dia seorang suami yang kurang. - Dianjurkan bagi seorang suami memperhatikan isterinya (dan mengingatkannya dengan nada yang lembut/halus) dan menafkahinya sesuai kemampuannya dan berlaku tabah (jika disakiti oleh isterinya) dan bersikap halus kepadanya dan mengarahkannya ke jalan yang baik dan mengajamya hukum-hukum agama yang perlu diketahui olehnya seperti bersuci, haid dan ibadah-ibadah yang wajib atau yang sunat.
- Allah Taala berfirman yang
bermaksud:
'Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan ahli keluargamu dari api Neraka." (At Tahrim : 6)
Ibnu Abbas berkata:
"Berilah pengetahuan agama kepada mereka dan berilah pelajaran budi pekerti yang bagus kepada mereka."
Dan Ibnu Umar dari Nabi SAW bahwa baginda bersabda: 'Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab at,is rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam mengurusi ahli keluarganya. Ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab alas keluarganya. Seorang hamba adalah pemimpin dalam mengurus harta tuannya, ia bertanggung jawab atas peliharaannya. Seorang laki-laki itu adalah pemimpin dalam mengurusi harta ayahnya, ia bertanggung jawab atas peliharaannya. Jadi setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap kamu harus bertanggung jawab alas yang dipimpinnya." (Muttallaq 'alai ) - Nabi SAW bersabda yang bermaksud: "Takutlah kepada Allah dalam memimpin isteri-istrimu , karena sesungguhnya mereka adalah amanah yang berada disampingmu, barangsiapa tidak memerintahkan sholat kepada isterinya dan tidak mengajarkan agama kepadanya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya."
- Allah Taala berfirman yang
bermaksud:
"Perintahkanlah keluargamu agar melakukan sholat." (Thaha:132) - Diceritakan dan Nabi SAW bahwa baginda bersabda yang bernaksud: "Tidak ada seseorang yang menjumpai Allah swt dengan membawa dosa yang lebih besar daripada seorang suami yang tidak sanggup mendidik keluarganya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar