Prokontra Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana: Pertarungan Para Ahli
Minggu, 16 January 2005
Apakah larangan penggunaan asas retroaktif hanya untuk hukum
materiil, atau juga untuk hukum formil? Implementasi pasal 28I UUD 1945 yang
menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum pidana.
Sidang-sidang pengujian Undang-Undang No.
30 Tahun 2002 lebih dari sekedar menyita waktu dan perhatian Komisi
Pemberantasan Korupsi. Ini terkait dengan keabsahan penyidikan yang dilakukan
KPK terhadap Bram Manoppo, yang tak lain adalah pemohon judicial review.
Tetapi yang lebih menyita pikiran KPK
adalah perdebatan di dalam sidang mengenai boleh tidaknya asas retroaktif
digunakan dalam penyidikan suatu tindak pidana korupsi. Ini memberikan
pengalaman yang sangat bagus untuk mematangkan KPK, mematangkan semua personil
untuk lebih memperhatikan masalah-masalah hukum dengan segala implikasinya,
ujar Ketua KPK Taufiequrahman Ruki, usai sidang 11 Januari lalu.
Kuasa hukum Bram Manoppo yang dikomandoi
advokat senior Mohamad Assegaf menilai penyidikan oleh KPK tidak sah karena
dalam tindak pidana korupsi, asas retroaktif yang tanpa batas tidak dapat
dibenarkan.
Untuk memperkuat argumen, tim pengacara
Bram Manoppo menghadirkan dua orang ahli, Prof. Indriyanto Seno Adji dan Prof.
Andi Hamzah. Kedua Guru Besar Hukum Pidana itu tampil dalam persidangan 16
Desember 2004. Selain dikenal sebagai ahli hukum pidana, Prof. Indriyanto dan
Prof. Andi Hamzah adalah anggota tim penyusun Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam keterangannya, Prof. Indriyanto tegas mengatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil
alih semua perkara tindak pidana korupsi. Wewenang KPK untuk mengambil alih
dibatasi oleh tempus delictie,
yaitu waktu terjadi tindak pidana yang disidik. Indriyanto, yang ikut membahas
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 (UUKPK) berpendapat, batas waktu
pengambilalihan yang dapat dibenarkan hanya sampai 27 Desember 2002, yakni
mulai berlakunya UUKPK. Dengan kata lain, hanya berwenang mengambil alih
perkara yang terjadi setahun sebelum KPK berdiri. Pengambilalihan itu bersifat
limitatif, ujarnya.
Kalaupun ada pengecualian, tetap harus
mengacu pada asas legalitas dalam pasal 1 KUH Pidana. Artinya, harus
menguntungkan tersangka. Nah, dengan dasar ini mestinya KPK tidak berwenang
mengambil alih perkara Bram Manoppo. Itu bukan area kewenangan KPK, tandas Guru
Besar Universitas Krisnadwipayana itu.
Pendapat Indriyanto diamini Andi Hamzah.
Mantan jaksa ini berpendapat bahwa jaksa atau polisilah yang berwenang menyidik,
sementara KPK hanya menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi. Guru Besar
Universitas Trisakti ini malah berpendapat bahwa korupsi tak ubahnya seperti
mencuri; korupsi bukanlah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana selama ini digembar gemborkan
Pemerintah.
Kelayakan
Ahli
Mengetahui keterangan kedua ahli itu, KPK
seperti kebakaran jenggot. Apalagi kemudian beberapa media yang tidak mengikuti
persidangan, seperti Gatra (edisi 8
Januari 2005), menuliskan perdebatan mengenai asas retroaktif dan prilaku
sebagian pakar pidana sebagai ahli dalam persidangan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Hikmahanto Juwana sempat menyindir kecenderungan ahli hukum memberi keterangan
dalam persidangan sesuai pesanan itu dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa
pekan lalu. Pendapat mereka berdasarkan pendapatan, ketusnya.
Mantan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Romli Atmasasmita termasuk yang mengecam kesaksian Indriyanto dan Andi
Hamzah. Sebagai orang yang ikut menyusun UUKPK, kata Romli, seharusnya Prof.
Indriyanto dan Prof. Andi Hamzah ikut mempertahankan semangat penyusunan dan
substansi UUKPK, bukan justeru melemahkannya. Saya justru heran kalau ada ahli
yang menyatakan korupsi bukan extra-ordinary
crime, ujar Romli.
Belakangan, di depan sidang Mahkamah
Konstitusi, KPK pun mempersoalkan kedudukan Prof. Indriyanto selaku ahli.
Profesinya sebagai advokat, sekaligus sebagai kuasa hukum Abdullah Puteh-�dalam
perkara yang sama dengan Bram Manoppo�dinilai memiliki konflik kepentingan. Itu
sebabnya KPK meminta Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan keterangan
Indriyanto selaku ahli.
Namun sebaliknya, Mohamad Assegaf, menganggap keterangan Indriyanto disampaikan secara
profesional sebagai ahli. Tidak ada yang salah dari keterangannya, termasuk
soal pembatasan wewenang pengambilalihan perkara oleh KPK. Terbukti kemudian,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) M.
Akil Mochtar membenarkan adanya limitasi waktu dalam pasal 68 UUKPK, yakni
hanya sampai 27 Desember 2002.
Larangan
berlaku surut: Materil, Yes. Formil, No?
Keterangan yang diberikan para ahli dalam
sidang-sidang Mahkamah Konstitusi telah memunculkan pertanyaan, apakah larangan
penggunaan asas retroaktif hanya dikenal dalam rezim hukum pidana materil.
Bolehkah hukum acara pidana diberlakukan surut?
Ini terkait dengan implementasi pasal 1
ayat (1) KUHP. Pasal ini menyebutkan tiada
suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Inilah dasar asas
legalitas dalam hukum pidana. Seseorang tidak dapat dihukum jika belum ada
undang-undang yang mengatur tindak pidana yang dilakukan (nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali).
Prof.
Romli Atmasasmita termasuk ahli yang berpendapat bahwa larangan asas retroaktif
hanya berlaku untuk hukum pidana materil. Demikian
pula Prof. Komariah Emong. Nomenklatur dituntut
yang terdapat pada pasal 28I UUD adalah dalam pengertian pidana materil.
Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya berlaku untuk pidana materil saja. Di dalam KUHAP
memang ada pasal 3 yang mengatur tersendiri masalah legalitas hukum acara
pidana. Tetapi hukum acara pidana itu tidak mungkin menampakkan diri sendiri
kalau hukum pidana materilnya tidak ada, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Bandung itu.
Tetapi, Prof. Andi Hamzah berpendapat asas
legalitas bukan hanya dikenal dalam hukum materil, tetapi juga hukum acara.
Ketua Tim Penyusun Revisi KUHAP ini mengaku termasuk yang menentang
habis-habisan berlakunya asas retroaktif dalam hukum acara pidana. Bahkan
menurut saya asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih keras dari pasal 1
ayat (1) KUHP, tegas Andi Hamzah.
Mengapa? Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya
menyebut tidak seorang pun boleh dihukum sebelum ada perundang-undangan
pidana', yang berarti bisa berbentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan
Presiden. Sementara, di dalam pasal 3 KUHAP disebut kata Undang-Undang, yang
berarti tingkatannya lebih tinggi. Dengan kata lain, Prof. Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum acara pidana tidak boleh
diberlakukan surut.
Acara
Pidana tak Melarang Retroaktif: Tiga Contoh dari KPK
Pendapat Prof. Andi Hamzah tadi langsung
ditepis oleh KPK. Seolah tidak mau kalah argument, KPK juga merujuk pada KUHAP.
Taufiequrahman Ruki menunjuk pasal 284 KUHAP.
Pasal ini berbunyi: (1) Terhadap perkara yang ada sebelum
undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan undang-undang ini;
(2) Dalam waktu dua tahun setelah
undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian sementara mengenai ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai
ada perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 284 di atas, menurut KPK, bukan saja
memperbolehkan, tetapi juga menganjurkan diberlakukannya KUHAP terhadap
perkara-perkara yang ada (tempus delictie) sebelum KUHAP diundangkan menjadi UU
No. 8 Tahun 1981.
Bukti lain adalah Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Pasal 68 menyebutkan pada saat
UUMK berlaku, maka seluruh permohonan judicial
review yang diterima Mahkamah Agung dan belum diputus dialihkan ke MK
paling lambat 60 hari kerja sejak MK terbentuk. Dengan pasal ini, MK diberi
wewenang menangani permohonan yang ada sebelum lembaga tersebut berdiri.
Masih dengan contoh, KPK menunjuk Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 2000 tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Kepanjen.
Berdasarkan pasal 5 ayat (2) Keppres tersebut, PN Kepanjen berwenang mengadili
perkara-perkara pidana dan perdata yang sebelumnya deregister di PN Malang,
tetapi belum diperiksa. Pasal ini memberi wewenang kepada PN Kepanjen untuk
mengadili perkara yang sudah ada sebelum PN tersebut berdiri.
Berdasarkan ketiga contoh tadi, KPK
berpendapat bahwa lembaga penegak hukum yang baru dibentuk tidak dilarang untuk
menerima limpahan perkara dari lembaga lama, meskipun tempus
delictie-nya terjadi sebelum lembaga baru tersebut berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar