Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa
Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar
1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu
memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada
dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus
menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta
Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan
sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun
mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen
selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun
1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal
ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan
pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap
pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi
setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun
demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia
sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah
penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga
miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen,
atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini
mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini
belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab
kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting
yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini
cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal
itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan
persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan,
bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang
berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral
dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya
lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam
penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila
dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar
(SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya
pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat
mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya
pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga
program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan,
yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.Sebagaimana diketahui, data dan
informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama
ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh
BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh
BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya
ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan
asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada
kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan
tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar
yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi,
organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara
lokal.Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis
untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal
(pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di
Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam
menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang
sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba
Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka
kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada
tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah
dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target
sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan
pada angka BPS.Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini
dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya
(walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta
perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai
keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk
target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran
individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga
miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara
lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga
pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin
secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh
BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada
identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain
tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik
dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu
mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi
ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi
daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu
dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan
lokal.Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari
satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap
dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan
secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang
akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan
pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota,
maupun di tingkat komunitas.Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data
mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk
kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai
indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan
akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan
diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan
ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk
penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap
fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit
sosial yang lebih besar, dan wilayah.Kajian secara ilmiah terhadap berbagai
fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses
terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman
gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu
dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti
perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya,
khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya
dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu
antropologi, dan lainnya.
Belum
memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang
dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan
secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan
dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut
tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat
daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang
diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data
kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang
dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik
nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan
antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem
pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan
daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana
secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan
informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan
dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan
sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan
program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari
ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar
dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut.
Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional,
agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat
sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu
akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut
kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan
oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan
informasi untuk manajemen.Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses
pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan
agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk
kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para
pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait,
perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta
menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program
pembangunan yang sesuai. Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan
informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan
tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan
informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup
pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti
lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem
pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu
disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain,
diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu
dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk
kebutuhan komunitas dan kabupaten.Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya
rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan
keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara
komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Hamonangan
Ritonga Kepala Subdit pada
Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat StatistikSumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar