HAK
ATAS TANAH
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat
atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri
khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah
berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi
haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53
UUPA, antara lain:
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Membuka Tanah
- Hak Memungut Hasil Hutan
- Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang
sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak
memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk
mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap
dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk
menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut
merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas
tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah
yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak
yang dimaksud antara lain :
- Hak gadai,
- Hak usaha bagi hasil,
- Hak menumpang,
- Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat
nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut
menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah
(kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum
Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga
bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian
pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang
yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan
mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan
dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan
dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang
bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang
terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di
tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya.
Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia
yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat
hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya
dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu
merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan
pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan
jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia
dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI.
Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya
totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak
menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak
pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya.
Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
1.Hak atas tanah yang bersifat
tetap, terdiri dari :
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa Tanah Bangunan
- Hak Pengelolaan
2.Hak atas tanah yang bersifat
sementara, terdiri dari :
- Hak Gadai
- Hak Usaha Bagi Hasil
- Hak Menumpang
- Hak Sewa Tanah Pertanian
Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas
tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak
atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai
dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut.
Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan
benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan
wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan
umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri
lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka
Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya
ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik
tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan
keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar