Prospek
dan Perspektif Hukum Kekeluargaan dan Waris Islam
Hukum kekeluargaan Indonesia menuju kearah
parental, hal ini terbukti dari yurisprodensi. Hukum waris nasional berdasarkan
Pancasila mendudukkan dan menghormati hukum waris ajaran agama. Hukum
kekeluargaan nasional Indonesia cenderung menjurus menciptakan kekeluargaan
parental (bilateral). Sistem perkawinan nasional ditentukan oleh hukum agama,
sistem perkawinan menentukan system kekeluargaan. Bentuk kekeluargaan dan
pengertian keluarga menentukan system kewarisan.
Dapat dilihat kecenderungan dalam hal
kewarisan, bahwa hukum kewarisan sesuai dengan cita-cita moral, cita-cita batin
dan cita-cita hukum yang di inginkan oleh manusia pemeluk agama akan menjadi
keinginan dan kesadaran batin secara nasional. Pada masa mendatang kesadaran
akan hak-hak individu dan hak azasi manusia akan kuat. Oleh karena itu dapat di
perkirakan akan makin tumbuhnya individualisme dalam masyarakat Indonesia.
Gerakan emansipasi dan penuntutan akan hak kaum wanita juga telah tumbuh dan
meningkat. Oleh karena itu pada masyarakat modern ada kecenderungan makin
besarnya tuntutan kepada suami untuk bertanggung jawab memimpin keluarga yang
terdiri dari isteri dan anak-anak.
Dengan gambaran tersebut, dapat diprediksi
bahwa prospek sistem kekeluargaan manusia modern di masa mendatang adalah
sistem kekeluargaan bilateral individual. Selanjutnya dapat diprediksi, bahwa
sistem kewarisan mayorat dan sistem kewarisan kolektif tidak akan berkembang
dalam masyarakat Indonesia di masa mendatang seiring dengan kemajuan dan
tuntutan kebutuhan kehidupan. Karena hukum perkawinan sudah menurut agama, maka
hukum kewarisan agama berlaku bagi pemeluknya. Bagi hukum kewarisan agama yang
tidak menjangkau ketentuan hukum waris, dapat diberlakukan hukum adat. Maka
terlihat gambaran bahwa, hokum waris Islam bagi yang Bergama Islam dan hukum
waris adat bagi yang beragama selain Islam.Cita-cita inilah yang ingin dituju
para praktisi hukum Islam, agar hukum kewarisan
termasuk dapat terbentuk dalam suatu Undang-undang Hukum terapan
Peradilan Agama.Beberapa Trobosan pembaharuan dalam Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia kini dan dimasa mendatang :
1. Trobosan Pembaharuan Anak
Perempuan mendinding Saudara Kandung.
Salah satu trobosan pembaharuan hukum
waris, yang telah menjadi Yurisprodensi,yang ketika itu menghebohkan dikalangan
ahli Hukum Islam di Indonesia, Yaitu dalam kasus kewarisan antara Hj.Hikmah
alias Inaq Putrahimah binti Amaq Nawiyah dkk melawan H. Nur Said bin amaq
Mukminah dkk, yang terjadi di Mataram, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Putusan PA. Mataram No. 85/Pdt.G/92/PA.MTR, Putusan PTA Mataram
No.19/Pdt.G/1993/PTA.MTR dan Putusan Mahkamah Agung RI
No.86K/AG/19945 tgl 28 April 1995, Ringkasan kasus posisinya bahwa di Dusun
Malimbo, Desa Pemenang Barat Kec. Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, pernah hidup
dua orang laki-laki bersaudara kandung, yakni Amaq Itrawan dan
Amaq Nawiyah, bahwa amaq Itrawan telah meninggal dunia pada th 1930 dengan
meninggalkan ahli waris dan ahli waris Pengganti yaitu para Penggugat.
Begitu juga Amaq Nawiyah telah meninggal
dunia dengan meninggalkan seorang anak Perempuan bernama Le Putrahimah binti
Amaq Nawiyah alias Hj.Hikmah. Bahwa amaq Itrawan (saudara Amaq Nawiyah) sewaktu
masih hidup pernah menguasai harta Peninggalan amaq Nawiyah karena pada saat
itu Le Putrahimah masih kecil, dan setelah dewasa seiring telah meninggalnya
Amaq Itrawan seluruh peninggalan Amaq Nawiyah kembali di kusai Le Putrahimah,
sedangkan H. Nur Said dkk yang merasa sebagai cucu dari Amaq Itrawan (saudara
kandung amag Nawiyah) merasa berhak atas harta warisan Amaq Nawiyah, karena
Saudara laki-laki mendapat bagian ashobah jika ahli waris hanya terdiri dari
seorang anak Perempuan. Inti dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI,
dengan mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang sahabat Rasulullah, seperti di
kemukakan oleh Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya, berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan kata “walad” dalam ayat tersebut diatas mencakup anak laki-laki dan anak
perempuan, pendapat ini sejalan dengan madzab Zahiri.
Alasan MA antara lain bahwa kata “Walad”
yang dimaksud dalam Al-Qur’an bukan saja untuk anak laki-laki tetapi juga anak
perempuan. Misalnya dalam ayat 11 surat an-Nisa’ Allah berfirman dengan memakai
kata”awlad”(kata jama’ dari kata walad) yang artinya:”Allah wajibkan kamu
tentang “awlad” (anak-anak kamu), buat seorang (anak) laki-laki (adalah)
seperti bahagian dua anak perempuan...” Kata “awlad” dalam ayat tersebut
mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sejalan dengan pengertian tersebut
di atas, menurut MA juga mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Sehingga
baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing mendinding saudara
kandung si pewaris dari mendapat harta peninggalan. Kesimpulan dari kasus
diatas adalah bahwa keberadaan anak Perempuan si pewaris yaitu Le Putrahimah
alias Hj.Hikmah menjadi penghalang bagi Amaq Itrawan (saudara kandung pewaris)
dari mendapat harta warisan. Selanjutnya diikuti Putusan Mahkamah Agung dalam
kasus serupa seperti kasus di PA Pekalongan No.820/G/1991 , Putusan PTA
Semarang No.69/G/1991 dan Putusan MA REG.No. 184 K/AG/1995,6 antara Wariyem Binti H.Asrori
melawan H.Mundiyah Binti H.Abas dkk, inti pertimbangan Mahkamah Agung,
Bahwa dengan adanya anak perempuan dari pewaris (tergugat asal
I) maka saudarasaudara kandung pewaris (penggugat asal) tertutup (terhijab)
oleh tergugat asal. Oleh karenanya penggugat-penggugat asal tidak berhak atas
harta warisan. Kasus serupa juga terjadi di PA Cibadak Wilayah PTA Bandung dan
seterusnya.
Dari berbagai Yurisprodensi MA dalam kasus
serupa, belum tentu menjamin putusan tersebut mengikat hakim di tingkat Pertama
dan hakim Tingkat Banding untuk
mengikutinya karena sistem hukum yang diikuti di Indonesia bukan
seperti Negara anglho saxon. Oleh karena itu diusulkan kelak di dalam draf RUU
hukum terapan PA dimasukkan dalam pasal tersendiri tentang kedudukan anak baik
laki-laki maupun perempuan di saat menjadi ahli waris bersama saudara atau
paman, maka anak pewaris dapat mendinding saudara dan paman. Dengan demikian
rujukan hakim jelas dan tidak bervarisi. Walaupun di pasal 174 ayat (2)
dinyatakan “ Apabila ahli waris semua ada, maka yang berhak mendapat warisan
hanya, anak, ayah, ibu, janda atau duda”. Ketentuan sebagaimana yang tertuang
dalam KHI tersebut, berbeda dengan
ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perdata Barat (BW), karena
masih adanya persepsi dimana fikiran sebagian kalangan bahwa terobosan
pembaharuan hukum waris Islam tersebut menyesuaikan ketentuan hukum waris
perdata umum, sebagaima BW mengatur urutan tertib penerimaan warisan ahli waris
dari pewaris berdasarkan golongan urutan menjadi empat Golongan.
1. Golongan ke I (pasal 852,852 a BW) terdiri dari anak dan
keturunannya dan Suami atau
Istri.
2. Golongan ke II (pasal 854, 855, 856, 857 BW) terdiri dari
ayah, Ibu, Saudara-saudara
dan keturunannya.
3. Golangan ke III ( pasal 853 BW) terdiri dari kakek, nenek
dari pihak bapak dan
seterusnya keatas, dan Kakek, nenek dari pihak Ibu dan
seterusnya keatas.
4. Golongan ke IV (858,861) terdiri dari keluarga sedarah
lainnya dalam garis
menyamping sampai derajat keenam.
Keempat golongan tersebut diatas sekaligus
merupakan urutan tertib penerimaannya, kalau golongan I ada, maka golongan
II,III,dan IV tidak berhak mendapat bagian warisan. Kalau golongan I tidak ada,
maka Golongan II tampil sebagai penerima warisan, sedangkan golongan ke III dan
keempat tertutup golongan ke II. Golongan ke III akan mendapat bagian warisan
kalau golongan I dan II tidak ada, demikian juga golongan ke IV akan mendapat
bagian warisan kalau golongan I.II dan III tidak ada.
2. Terobosan Pembaharuan
plaatvervulling (Ahli waris Pengganti) yang semula
hanya dari keturunan anak
laki-laki menjadi semua keturunan ahli waris anak,
baik laki-laki maupun
perempuan yang meninggal dunia terlebih dahulu dari
Pewaris.
Pada dasarnya didalam kitab Faraid
Konfensional yang termuat dalam kitab fiqih, telah mengenal ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pewaris yang di gantikan
kedudukannya oleh anak keturunannya. Namun istilah yang
digunakan bukan ahli waris
mengganti. Apapun istilahnya menurut penulis hal itu pada
hakekatnya juga dinamakan
ahli waris Pengganti, walaupun tidak penuh. Kenapa tidak penuh
?, karena yang dianggap berhak dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris
Pengganti hanya keturunan dari anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari
Pewaris dengan kata lain hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki (Ibnul-Ibni dan Bintul-Ibni) yang dapat menerima warisan dari
kakeknya, itu pun bagiannya telah ditentukan secara pasti baik sebagai ashobah
maupun dzawil-furudl. Contoh bintu ibnin jika menerima bersama seorang anak
perempuan maka mendapat bagian 1/6. sedangkan cucu laki-laki maupun cucu
perempuan dari keturunan anak perempuan (Ibnul-Binti dan Bintul-Binti) tidak
dapat menerima bagian warisan dari kakek/neneknya karena termasuk dzawul Arham.
Secara tegas dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama8 tentang Azas ahli waris
langsung dan azas ahli waris Pengganti.
(1) Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang
disebut dalam Pasal 174
KHI.
(2) Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris
yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan
dari ahli waris yang disebutkan pada pasal 174 KHI.
3. Trobosan Pembaharuan terhadap pengembangan mal
waris.
Kembali pengalaman menangani perkara waris
pada saat penulis bertugas di PA
Selong Lombok Timur NTB, sayang lagi-lagi berkas/ Surat gugatan
perkaranya tidak penulis simpan, karena pada waktu itu para pihak setelah dinasehati
hakim dan di berikan pandangan akhirnya, sepakat untuk mencabut karena terjadi
perdamaian, dan langsung di bagi sesuai kesepakatan, tanpa meminta putusan perdamaian
dan memilih perkaranya untuk di Cabut.
Ringkas kasusnya, seorang laki-laki
meninggal dunia pada sekitar tahun 1980 an
dengan meninggalkan seorang anak laki-laki, dan tiga anak
perempuan. Dengan peninggalkan harta benda berupa dua bidang tanah sawah seluas
: 2 Ha dan 64 ekor
kerbau. Ketika berperkara tahun 1999, sawah dan kerbau di kuasai
oleh anak laki-laki
sendiri selama belasan tahun dan dilanjutkan oleh keturunannya
(cucu) pewaris, sedangkan kala itu anak perempuan sesuai adat di Lombok hanya
mendapat bagian dari hasil sawah. Ketika anak laki-laki masih hidup anak
perempuan tidak berani meminta bagian secara faraid, karena sistem adat Lombok
seluruh tanah warisan dikuasai oleh anak Laki-laki seperti adat warisan di Bali
(sistem Mayorat) sedang anak perempuan hanya mendapat hasilnya saja.
Keadaan lain dalam hal warisan terkadang
menerapkan sistem kewarisan kolektif jika meminta bagian warisan dirasa sesuatu
yang pemali (tidak pantas) bagi orang perempuan, Dalam tenggang rentan waktu
sekitar belasan tahun, saat harta peninggalan di kuasai oleh anak laki-laki
harta tersebut berkembang yang semula tanah warisan 2 Ha menjadi 2,5 Ha begitu
juga kerbau yang pada saat meninggalnya pewaris berjumlah 64 ekor, belum lagi
yang telah dipotong atau dijual, ketika di ajukan gugatan ke Pengadilan Agama
Selong, total kerbau masih berjumlah 99 ekor. Dan Setelah anak laki-laki meninggal
pada tahun 1997 harta dikuasai oleh anak keturunan dari anak laki-laki (cucu). Oleh
karena itu para anak perempuan berusaha meminta baik-baik bagian warisan tetapi
oleh keponakannya selalu ditolak dengan alasan merupakan warisan bapaknya,
akhirnya para anak perempuan yang tak lain bibinya menggugat harta warisan
tersebut yang waktu itu di kuasai oleh Cucu dan sekaligus menggugat pengembangan
dari harta peninggalan Pewaris, karena penggugat (bibinya) merasa dirugikan selama
belasan tahun tanpa dapat menikmati harta peninggalan orang tuanya dan hanya mendapat
bagian panen hasil sawah yang tidak sesuai dengan harapan.
Melalui proses mediasi negosiasi (upaya
perdamaian saat itu), akhirnya di capai kesepakatan dengan konpensasi
perhitungan biaya upah pemeliharaan sawah dan kerbau yang telah diperhitungkan.
Sisa nya dibagi sesuai kesepakatan semua pihak dan perkaranya di Cabut dengan
tanpa minta putusan perdamaian, karena para cucu dan anak perempuan langsung
berbagi secara damai.
Fenomena Pembaharuan Mal waris tersebut,
dapat terjadi di masa kini dan dimasa akan datang sebagai mana contoh ilustrasi
sebagai berikut:
- pewaris pada saat masih hidup punya saham di beberapa
perusahaan yang terus berkembang,katakanlah pada saat pewaris meninggal dunia,
jika di hitung saham pewaris ketika itu 1 milyar, dan terus berkembang di kuasai
salah seorang ahli waris. Jika terjadi sengketa apakah harta warisan yang 1
milyar saja ataukah termasuk pengembangannya?
- Seorang penulis buku, ternyata bukunya berulang dicetak padahal
penulisnya telah
meninggal dunia, pada setiap terbitan sang pengarang selalu
mendapat Royalty.
- Seorang musisi yang menghasilkan Album lagu-lagu yang laris
terjual dan royalty nya
terus mengalir sepanjang masih laris dan dapat dinikmati salah
seorang ahli warisnya.
- Pewaris yang ketika hidup mempunyai Deposito di Bank yang
bunganya terus
berkembang.
- Seorang Prodoser mempunyai Studio rekaman yang hasilnya terus
mengalir setiap kali menerima rekaman lagu dan rekaman lainnya.
- Dan yang paling sederhana seorang Pewaris meninggalkan Rumah
kos-kosan dan
hasilnya hanya dikuasai salah seorang diantara ahli waris.
Pemikiran Pembaharuan mal waris sebagaimana
penulis uraikan kiranya tidak menutup kemungkinan akan terjadi dan pasti
terjadi seiring dengan kemajuan zaman. Oleh karena itu penulis mengusulkan
kiranya pengembangan harta warisan mendapat perhatian sepanjang belum terbagi
termasuk harta warisan pewaris yang menjadi hak para ahli waris yang berhak
mendapat bagian.
4. Trobosan pembaharuan Ahli waris beda Agama
dengan pewaris dengan
mendapatkan bagian harta peninggalan berdasarkan
melalui wasiat wajibah.
Perbedaan regulasi dalam hukum Islam akibat
perbedaan hukum atau keyakinan yang dianut Para pakar hukum Islam dan juga oleh
ahli waris pun sangat beragam. Satu hal yang sangat prinsip seperti dalam hukum
waris Islam, agama adalah salah satu syarat
paling penting agar harta kekayaan bisa dialihkan kepada ahli
waris. Ini berarti agama yang dianut oleh pewaris semasa hidup berlaku sebagai
kriteria utama untuk menentukan apakah ahli waris dapat menerima warisan atau
tidak; jika ahli waris menganut agama yang sama dengan agama yang dianut
pewaris semasa hidupnya, maka ahli waris dapat menerima harta warisan, jika
tidak maka mereka tidak akan dapat apa-apa dari jalan hukum waris.
Walaupun persyaratan kesamaan agama yang
dianut antara pewaris dengan ahli warisnya tidak berasal dari al-Qur’an
melainkan dari hadits Nabi, namun aturan ini dipandang oleh para fuqoha’
sebagai salah satu syarat orang terpenting dalam memutuskan pewarisan harta
warisan kepada ahli waris.10 Begitu pula dengan di Indonesia persoalan muncul ketika ahli
waris menganut agama yang berbeda dari yang dianut oleh pewaris. Suatu trobosan
baru seiring dengan perkembangan zaman dinegara yang berdasarkan Pancasila,
sebagai bentuk toleransi antar sesama pemeluk agama, yaitu munculnya Azas
Legaliter, maksudnya kerabat karena hubungan darah yang memeluk Agama selain
Islam mendapat wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 bagian, dan tidak boleh
melebihi bagian ahli waris yang sederajad dengannya, hal ini berdasarkan Yurisprodensi.
Seiring dengan pembaruan ahli waris beda
agama tersebut, penulis memberikan
komentar bahwa bisa saja ahli waris beda agama menerima harta
peninggalan melalui
wasiat wajibah, tetapi ada syarat bahwa ketika pewaris masih
hidup, hubungan kesehariananatara pewaris dengan ahli waris yang beda agama,
hidup rukun damai dan saling toleran.Seperti memperhatikan kehidupan orang
tuanya, merawatnya ketika sakit dan seterusnya. Sebaliknya jika semasa hidupnya
pewaris anti pati dan tidak rela anaknya berbeda agama dengan orang tuanya
(pewaris), maka jalan wasiat wajibah tidak sepatutnya diterapkan. Lebih lanjut
dalam ipesude yang lain penulis akan usulkan beberapa hal kiranya sebagai
masukan konsep Hukum terapan Peradilan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar