PENYERTAAN
DALAM GABUNGAN TINDAK PIDANA
Sistem Pembebanan Tanggung Jawab Pada
Penyertaan
Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk
turut serta / terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun
pisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak
pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak
pidana, perbuatan masing-masing dan mereka berbeda satu dengan yang lain,
demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap
peserta yang lain.
Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu
terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan oleh
yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada
satu istilah terwujudnya tindak pidana.
Sebagaimana dalam percobaan yang mengenal dua ajaran subyektif dan
obyektif, demikian juga dalam penyertaan ada 2 ajaran, subyektif dan obyektif ,
menurut ajaran subyektif yang bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada
sikap batin pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah
apabila ia berkhendak, mempunyai tujuan dan kepentingan untuk terwujudnya
tindak pidana. Siapa yang berkehendak yang paling kuat dan atau mempunyai
kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang membeban
tanggung jawab pidana yang lebih besar.
Sebaliknya menurut ajaran obyektif, yang menitik beratkan pada wujud
perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari
wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksdukan, yang
menentukan sebarapa berat tanggung jawab yang dibebannya terhadap terjadinya
tindak pidana.
Apakah syaratnya seseorang dapat disebut sebagai ikut terlibat dan
ikut bertanggung jawab dengan peserta lainnya di dalam mewujudkan tindak pidana
:
1. Dari Sudut Subyektif , ada 2 syaratnya,
ialah:
a. Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang
hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya
tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya
tindak pidana;
b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara
dirinya dengan peserta lainnya, dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh
peserta lainnya.
2. Dari Sudut Obyektif
Bahwa perbuatan orang itu ada hubungan debgan terwujudnya tindak
pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara obyektif ada
perannya / pengaruh positif bauk besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak
pidana. Menyangkut tentang sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam
penyertaan.
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 2 sistem
pembebanan pertanggungjawaban pidana, ialah:
1. pertama, yang
menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak
pidana dipandang dan dipertanggung jawabkan secara sama dengan orang yang
sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas
perbuatan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun yang ada dalam sikap
batinnya.
2. kedua, yang
mmerupakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama terlibat kedalam suatu
tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang
berat-ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing
orang dalam mewujudkan tindak pidana.
Tetapi juga menurut KUHP bagi orang yang terlibat sebagai pembuat
pembantu, baik pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan maupun pembantuan
sebelum pelaksanaan kejahatan (56) beban tanggung jawabnya dibedakan dengan
orang-orang yang masuk kelompok pertama (mededader) pada pasal 55, yakni beban
tanggung jawab pelaku pembantu ini lebih ringan pada daripada tanggung jawab
pelaku mededader tersebut, dimana menurut pasal 57 atay (1) ditetapkan bahwa “
dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi
sepertiga”.
B. Bentuk-bentuk Penyertaan
Bnetuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan
56. . pasal 55 mengenai golongan yang disebut dengan mededader (disebut pada
peserta, atau para pembuat), dan pasal 56 mengenai medeplichtige (pembuat
pembantu).
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh
lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan
yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada
waktu kejahatan dilakukan;
b. mereka yang sengaja memberi kesempatan,
sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
1. Mereka yang Melakukan (pembuat
pelaksana: pleger)
Pada kenyataannya untuk menentukan seorang pembuat tunggal, tidaklah
terlalu sukar. Kreteriannya cukup jelas; ialah secara umum ialah perbuatannya
telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud
perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan
tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materiil perbuatan apa yang
dilakukannya telah menimbulakan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil, pembuat
pelaksanaannya ialah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang
yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang
dirumuskan secara materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
2. Mereka yang Menyuruh Melakukan (Pembuat
Penyuruh: Doen Pleger)
Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang
menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang
menyuruh lakukan (Doen Pleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang
ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “yang menyuruh melakukan
ialah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi,
melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila
orang lain berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena
keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada keerasan.
Dalam keterangan MvT tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa
penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran obyektif, ialah
kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam
kekuasaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung
jawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang teryata
subyektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (orang yang
disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak
dipertanggung jawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat
itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif, sedangkan alasan
karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat obyektif.
3. Mereka yang Turut Serta Melakukan
(Pembuat Peserta: Medepleger)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan
(medepleger), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan
ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak
pidana. Keterangan ini belum memberikan penjelasan yang tuntas. Oleh karena itu
menimbulkan perbedaan pandangan.
Pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) itu ialah bahwa
pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi
semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Seperti dua orang A dan B
mencuri sebuah televisi disebuah kediaman, dimana mereka berdua sama-sama masuk
melalui jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula mengangkat obyek
televisi tersebut ke dalam mobil yang telah disediakan dipinggir jalan.
Pada contoh ini perbutan A dan Perbuatan B sama-sama (bersama)
mengangkat televisi, pencurian terjadi karena perbuatan yang sama, dan tidak
dapat mengangkat televisi oleh hanya satu orang. Jelas perbuatan mereka telah
sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana. Sama seperti perbuatan seorang
pembuat (dader). Bedanya, ialah seorang dader dia sebagai pembuat tunggal.
Sedangkan pandangan luas tentang pembuat peserta, tidak mensyaratkan
bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat
(dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana,
sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan,
kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksana.
4. Orang yang Sengaja Menganjurkan (pembuat
Penganjur: uitlokker)
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur, disebut juga
auctor intellectualis), seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan, tidak
mewujudkan tindak pidana secara materiil, tetapi melalui orang lain. Kalau
pembuat penyuruh dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat,
ialah “yang menyuruh melakukan” (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang
sengaja menganjurkan inidirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan
unsur obyektif yang sekaligus unsur subyektif. Rumusan itu selengkapnya
ialah;”mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.
5. Pembantuan
Mengenai hal pambantuan diatur dalam tiga pasal, ialah pasal 56, 57
dan 60. pasal 56 merumuskan tentang unsur obyektif dan unsur subyektif
pembantuan serta macamnya bentuk pembantuan. Sedangkan pasal 57 merumuskan
tentang batas luasnya pertanggungan jawab bagi pembuat. Pasal 60 mengenai
penegasan pertanggungan jawab pembantuan itu hanyalah pada pembantuan dalam hal
kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggalaran.
C. Penyertaan Mutlak
Penyertaan mutlak itu benar-benar suatu tindak pidana, tindak pidana
yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang pembuat. Dapat dipikirkan
oleh orang yang normal, bahwa untuk mewujudkan tindak pidana itu diperlukan
lebih dari satu orang pembuat. Jadi menurut praktik hukum jelas bahwa dua orang
atau lebih dengan bersekutu itu, salah satunya atau keduanya haruslah memenuhi
syarat sebagai seorang pembuat peserta. Jika salah satu saja berkualitas sebagai
pembuat peserta tentulah yang satu adalah sebagai pembuat pelaksana. Sedangkan
bila kedua-duanya berkualitas sebagai pembuat peserta yang sama, maka kedua-dua
orang itu haruslah perbuatannya sama-sama memenuhi semua unsur tindak pidana.
Artinya kedua-duanya telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua
syarat dari pencurian itu, karena itu dapat juga disebut kedua-duanya adalah
pembuat pelaksana, karena kedua-duanya telah melakukan perbuatan pelaksanaan
yang benar-benar sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar